Dan orang-orang
yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami
dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.” Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat
yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan
penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Surga
itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman. (TQS al-Furqnn [25]: 74-76).
Ayat ini merupakan ayat terakhir yang
menggambarkan tentang sifat-sifat yang dimiliki ‘ibâd al-Rahmân,hamba-hamba
Dzat Yang Maha Penyayang. Setelah itu kemudian dilanjutkan dengan balasan yang
akan diberikan Allah SWT kepada mereka. Balasan tersebut tak lain adalah surga
yang kekal abadi. Sebaik-baik tempat menetap dan tempat kembali. Sungguh
balasan yang amat menguntungkan bagi siapa pun yang mengerjakannya.
Mohon Dianugerahi Istri dan Anak Yang Shaleh
Allah SWT berfiman: Wa al-ladzîna
yaqûlûna Rabbanâ hab lanâ min azwâjinâ wa dzurriyatinâ qurrat a’yun (dan
orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati [kami]). Kata al-ladzîna masih
menunjuk kepada ‘ibâd al-Rahmân yang disebutkan dalam
ayat sebelumnya. Mereka diberitakan memanjatkan doa dan permohonannya kepada
Allah SWT. Doa yang mereka panjatkan adalah agar dikaruniai azwâj (istri-istri)
dan dzurriyyah (keturunan) yang menjadiqurrah a’yun.
Kata qurrah a‘yun merupakan kinâyah (kata
kiasan) dari al-surûr wa al-farah (rasa senang dan
gembira). Kataqurrah berasal dari al-qarr yang
berarti al-bard (dingin). Sebab, tetesan airmata kebahagiaan
itu dingin. Demikian al-Alusi dalam tafsirnya.
Ditegaskan Fakhruddin al-Razi, tidak ada
keraguan bahwa yang dimaksud dengan qurrah a’yun bagi mereka
adalah dalam perkara agama. Bukan dalam urusan dunia, seperti harta dan
ketampanan atau kecantikan. Penafsirkan demikian memang dikemukan oleh para
mufassir.
Mujahid, sebagaimana dikutip al-Alusi,
berkata, “Seorang Mukmin yang benar apabila melihat keluarganya ikut
bersamanya dalam ketaatan, maka perasaannya senang dan hatinya gembira. Ibnu
Katsir mengatakan, istri-istri dan anak-cucu yang dipinta itu adalah
orang-orang yang taat dan menyembah Allah, serta tidak menyekutukan-Nya dengan
yang lain. Mufassir tersebut juga mengutip penjelasan Ikrimah yang
berkata, “Yang mereka inginkan bukanlah kecantikan atau ketampanan.
Namun yang mereka inginkan adalah istri-istri dan anak-cucunya itu menjadi
orang-orang yang taat.”
Abdurrahman bin Zaid bin Aslam juga
berkata, “Mereka meminta kepada Allah agar istri dan anak-cucunya
diberikan petunjuk kepada Islam.” Al-Khazin menafsirkanqurrah
a’yun sebagai orang-orangyang baik dan bertakwa, sehingga menjadi
penyenang hatinya. Dikatakan juga oleh Wahbah al-Zuhaili. Menurutnya, “Yang
dimaksud dengan qurrah a’yun adalah kegemberaan dan kesenangan. Sesungguhnya
orang Muslim akan senang hatinya dengan ketaatan keluarga dan anak-anaknya
kepada Tuhan agar mereka bisa menyusulnya di surga.”
Permohonan mereka itu menunjukkan sifat mereka
yang tidak egois dan hanya peduli terhadap nasib mereka sendiri. Mereka juga
peduli terhadap nasib keluarga dan keturunannya. Maka mereka pun mengharapkan
istri dan anak-cucu mereka masuk surga. Oleh karena itu, hati mereka menjadi
senang dan tenteram manakala istri dan anak-cucunya menjadi orang-orang yang
beriman, shalih, dan taat kepada-Nya. Mereka pun berdoa kepada Allah
sebagaimana diberitakan dalam ayat ini. Doa inilah yang dipanjatkan oleh para
nabi terhadap anak-anak mereka, seperti Ibrahim sebagaimana diberitakan dalam
firman-Nya: "Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak)
yang termasuk orang-orang yang shaleh (TQS al-Shaffat [37]: 100).
Demikian pula Zakaria yang berdoa: "Ya Tuhanku, berilah aku dari
sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
doa" (TQS Ali Imran [3]: 38). Tentu tidak hanya berdoa. Berbagai
upaya lain juga dilakukan agar istri dan anak-cucunya bisa menjadi orang-orang
shalih dan bertakwa.
Pemimpin bagi Kaum Bertakwa
Allah SWT berfirman: wa [i]j’alnâ li
al-muttaqîna imâm[an] (dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang
bertakwa). Ini merupakan permohonan mereka selainnya. Mereka memohon agar dijadikan
sebagai imâmbagi orang-orang yang bertakwa.
Menurut al-Asfahani, secara bahasa kata imâm berarti al-mu`tamm
bih (orang yang diikuti), baik oleh manusia maupun para penulis dan
lainnya yang meneladani ucapan dan perbuatannya; baik dalam kebaikan maupun
kebatilan.
Pengertian itulah diambil para mufassir dalam
menafsirkan ayat ini. Ibnu ‘Abbas, al-Hasan, al-Sudi, Qatadah, dan al-Rabi’ bin
Anas berkata: Mereka menjadi para pemimpin yang diteladani dalam
kebaikan. Ibnu Abbas, sebagaimana dikutip al-Qurthubi, ayat ini
berarti: “Jadikanlah kami sebagai para pemimpin petunjuk.” Ini
sebagaimana firman Allah Swt: Dan Kami jadikan di antara
mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika
mereka sabar (TQS al-Sajdah [32]: 24).
Dikatakan al-Qurthubi dan al-Syaukani, maksud
permohonan mereka dalam ayat ini agar dijadikan sebagaiqudwah (teladan)
yang diteladani dalam kebaikan. Menurut al-Qurthubi, itu tidak bisa terjadi
kecuali dia menjadi da’i yang bertakwa dan panutan. Inilah yang dituju oleh
dai. Menurut al-Baidhawi, maksud ayat ini adalah:“Mereka meneladani kami
dalam urusan agama; di samping juga tambahan ilmu dan taufiq untuk beramal.”Dikatakan
Ibnu Zaid, ini sebagaimana firman Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as: "Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia" (TQS al-Baqarah
[2]: 124).
Balasan bagi ‘Ibâd al-Rahmân
Kemudian dalam ayat berikutnya Allah Swt
berfirman: Ulâika yujzawna al-ghurfah bimâ shabarû (mereka
itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena
kesabaran mereka). Kata ulâika(mereka) menunjuk kepada ‘ibâd
al-Rahmân yang memiliki berbagai sifat yang indah serta
perkataan dan perbuatan yang mulia.
Terhadap mereka, akan diberikan balasan
berupa al-ghurfah. Diterangkan al-Razi, secara bahasa
kata al-ghurfah berarti al-‘uliyyah (ruangan,
kamar yang tinggi). Setiap bangunan yang tinggi, itu adalah al-ghurfah.Sehingga
yang dimaksud dengannya adalah al-darajât al-rafî’ah (tingkatan-tingkatan
yang tinggi). Dikatakan juga oleh al-Razi, menurut para mufassir, al-ghurfah merupakan
sebuah surga. Kata al-ghurfah dengan pengertian tempat tinggi
surga juga disebutkan dalam firman-Nya: Wahum fî al-ghurufât
âminûn (dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi dalam
surga, TQS Saba’ [34]: 37). Juga dalam QS al-Zumar [39]: 20).
Balasan tersebut diberikan kepada mereka
lantaran kesabaran mereka. Disebutkan: bimâ shabarû (karena
kesabaran mereka). Kata: shabarû (telah melakukan kesabaran)
menunjuk kepada semua keyakinan, sikap, perbuatan, dan perkataan mereka yang
dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya.
Kemudian disebutkan juga balasan lainnya: Wa
yulaqqawna fîhâ tahiyyat[an] wa salâm[an] (dan mereka disambut
dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya). Dhamîr al-hâ` menunjuka
kepada al-ghurfah. Artinya, di dalam surga mereka disambut
dengan tahiyyat[an] wa salâm[an]. Menurut
al-Razi, al-tahiyyah adalah doa untuk perbaikan;
sedangkan al-salâm merupakan doa untuk keselamatan.
Hasil al-tahiyyah dikembalikan pada berbagai kenikmatan
surga yang kekal tak terputus. Sedangkan al-saâmdikembalikan
kenikmatan karena terhindar dari berbagai bahaya.
Dijelaskan juga oleh al-Razi, al-tahiyyah dan al-salâm bisa
berasal dari Allah sebagaimana diberitakan dalam QS Yasin [36]: 58. Bisa pula
dari malaikat (lihat al-Ra’d [13]: 23). Juga, disampaikan oleh sesama mereka.
Di dalam surga yang penuh kenikmatan itu mereka
tinggal selama-lamanya. Allah SWT berfirman: khâlidîna fîhâ (mereka
kekal di dalamnya). Artinya, mereka tidak mati di dalamnya dan tidak keluar
darinya. Demikian penjelasan al-Baidhawi dalam tafsirnya. Bahwa mereka kekal di
salam surga di beritakan dalam banyak ayat.
Kemudian ditegaskan: Hasunat
mustaqarr[an] wa muqâm[an] (surga itu sebaik-baik tempat menetap dan
tempat kediaman). Menurut Ibnu Katsir, frasa tersebut berarti hasunat
manzhar[an] wa thâbat maqîl[an] wa manzil[an] (bagus pemandangannya
dan tempat istirahat dan tempat tinggal yang baik). Keadan ini berkebalikan
dengan neraka, yang disebutkan dalam ayat sebelumnya sebagai: Innahâ
sâat mustaqarr[an] wa muqâm[a] (sesungguhnya Jahanam itu seburuk-buruk
tempat menetap dan tempat kediaman, TQS al-Furqan [25]: 66).
Demikianlah sifat-sifat para hamba Dzat Yang
Maha Penyayang itu. Demikian pula balasan yang akan mereka terima. Kesabaran
yang melakukan di dunia mengantarkan mereka mendapatkan kenikmatan Allah SWT
tiada tara di surga. Sungguh keuntungan besar bagi mereka yang dengan penuh
kesabaran memiliki sifat yang digambarkan dalam ayat ini dan ayat-ayat
sebleumnya. Semoga kita termasuk di dalamnya.
Wallohu a’lam bish shawâb.
Ikhtisar:
1.
Di antara doa ‘Ibâd al-Rahmân adalah:
(1) memohon agar istri-istri dan anak-cucunya dijadik sebagai orang-orang
shalih dan taat; (2) dijadikan sebagai pemimpin dalam kebaikan bagi orang yang
bertakwa
2.
Balasan yang akan diberikan mereka adalah surga
yang tinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar