Kamis, 22 Agustus 2013

Sesatkah Ajaran Bai'at ?

Segala puji hanya milik Alloh subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasululloh shalallohu alaihi wassallam, keluarganya,shahabatnya,dan Insya Alloh kepada kita semua yang tetap Istiqomah menetapi jalan-Nya aamiin.

Definisi bai'at
Bai'at secara bahasa berasal dari kata   yang bermakna saling mengikat janji. Disebut mubaya'ah karena diserupakan seperti dua orang yang saling menukar harta, di mana salah satunya menjual hartanya kepada yang lain. (Lihat Lisanul 'Arab 8/26, 'Umdatul Qari 1/154, Tajul 'Arus 20/370) 
Adapun secara istilah, diterangkan oleh Badruddin Al-'Aini : 
“Seorang imam mengikat perjanjian (untuk taat) terhadap apa yang dia perintahkan kepada manusia.” ('Umdatul Qari, 1/154) 

Ibnu Khaldun mengatakan, “Bai'at adalah perjanjian untuk taat. Di mana orang yang berbai'at telah berjanji kepada Amir (pemimpin)nya untuk menyerahkan pandangannya dalam menentukan urusan dirinya dan kaum muslimin, tidak menyelisihinya dalam hal tersebut, serta menaati apa yang dibebankan kepada dirinya berupa perintah baik di saat semangat maupun terpaksa.” (Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 209)

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa inti dari bai'at tersebut adalah kewajiban orang yang telah berbai'at kepada orang yang dia telah berbai'at kepadanya untuk menjalankan serta taat terhadap apa yang telah menjadi ketetapan dan perintahnya.
Bai’at adalah  Syari’at Islam

Bai'at merupakan perkara yang disyariatkan berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab bai'at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang terhadap pemimpinnya. Di antara nash yang menunjukkan disyariatkannya adalah firman Allah Subhaanahu wa ta'aala :

“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at (janji setia) kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (QS Al-Fath:18)

 “Wahai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan bai’at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah bai’at (janji setia) mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS Al-Mumtahanah:12)
               
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia (bai'at) kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.  (QS Al-Fath 10)

Adapun hadits Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, di antaranya adalah hadits Ubadah bin Ash-Shamit radiallohu 'anhu, ia berkata: 

“Kami telah membai'at Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, untuk selalu mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik di saat susah maupun mudah, semangat atau terpaksa, dan di saat mereka merampas hak-hak kami, dan kami tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya, dan agar mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut karena Allah kepada celaan orang yang mencela.” (HR. Muslim no. 1709)

Demikian pula ucapan Jarir bin Abdillah radiallohu 'anhu : “Aku membai'at Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap muslim.” (Muttafaqun 'alaihi)

Bahkan banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa setiap muslim wajib berbai'at kepada pemimpin ummat Islam, serta diharamkan menyelisihinya dan keluar dari ketaatan kepadanya dalam perkara-perkara yang bukan merupakan bentuk maksiat kepada Allah Subhaanahu wata'aala.
Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar radiallohu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, bersabda:

“Barangsiapa melepaskan ketaatannya maka dia bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbai'at maka dia mati seperti mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1851)

Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radiallohu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, bersabda:

“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama'ah lalu dia mati, maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR. Muslim no. 1848)

Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, juga bersabda:
“Siapa yang datang kepada kalian dalam keadaan kalian telah sepakat terhadap satu orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin merusak persatuan kalian dan memecah jama'ah kalian maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim no. 1852)

Masih banyak lagi dalil-dalil yang semakna dengannya. Al-Hafizh Ibnu Hajar  mengatakan:
“Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya taat kepada imam (pemimpin kaum muslimin / Khalifah/Amirul mu’minin) yang telah disepakati untuk dibai'at, serta diharamkan melakukan pemberontakan terhadapnya, meskipun dia (pemimpin tersebut) berbuat zhalim dalam menetapkan hukum. Dan bai'at tidak tercabut karena adanya kefasikan yang diperbuatnya.” (Fathul Bari, 1/72)
Kepada siapa bai’at  harus diberikan?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

”Dahulu bani Isroil selalu dipimpin oleh para Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti Nabi lainnya, sesungguhnya setelahku ini tidak ada lagi Nabi dan akan ada beberapa Kholifah bahkan akan bertambah banyak, shahabat bertanya: “Apa  yang engkau perintahkan kepada kami yaa Rasulalloh?” Beliau menjawab: “Tepatilah bai’atmu yang pertama, maka untuk yang pertama  berikan kepada mereka haknya” (HR Muslim dari Abu Hurairoh, Shohih Muslim dalam kitabul Imaroh:II/123, Ibnu Majah,Sunan Ibnu Majah II/204 lafadz Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

”Apabila dibai’at dua orang Kholifah (dalam satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya (yang terakhir)” (HRMuslim dari Sa’id Al-Khudri, Shohih Muslim dalam Kitabul Imaroh II/137)

Maksud bai’at dalam beberapa hadits tersebut ialah bai’at taat kepada Khalifah/Amirul Mu’minin tentunya setelah sistem Nubuwwah (Nabi sebagai Ulil Amri) yang menegakkan syariat Islam, Sholat,Zakat,Hudud,Qishosh,Rajam dan  mengumumkan perang maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban dan hak seorang Khalifah. 

Baiat taat ini tidak boleh diberikan kepada pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok dakwah sebagaimana yang ada pada zaman ini. Karena baiat taat yang dilakukan Salafush-Shalih hanyalah diberikan kepada pemimpin kaum muslimin. Dengan demikian, orang-orang yang digelari imam, syaikh, amir, ustadz, atau semacamnya yang muncul dari kalangan ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun lainnya,  maka mereka sama sekali tidak berhak dibaiat. Baiat kepada mereka merupakan bid'ah dan memecah-belah umat.

Konsekwensi baiat ini, ialah taat kepada imam dalam perkara ma'ruf, dalam keadaan suka maupun benci, berat maupun susah, dan tidak melakukan pemberontakan kepadanya. Meninggalkan baiat kepada Imam kaum muslimin merupakan dosa besar. 

Hukum baiat
Hukum baiat  adalah wajib, jika memang ada Imam kaum muslimin/Khalifah/Amirul Mu’minin sebagaimana di atas. Dan melepaskan baiat merupakan dosa besar, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan ulama dalam masalah ini. 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati, sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah"  (HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133. Ibnu Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari 'Abdullah bin 'Umar).

Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut. 

1. An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka dalam keadaan kacau, tidak memiliki imam” (Syarah Muslim, 12/238).
2. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang jahiliyah tidak membaiat imam, dan tidak masuk ke dalam ketaatan imam. Maka barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam ketaatan kepada imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah itu. Jika dia mati dalam keadaan seperti itu, berarti dia mati seperti keadaan mereka, dalam keadaan melakukan dosa besar”. (Al-Mufhim, 4/59).

3. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah, ialah seperti matinya orang-orang jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki imam yang ditaati, karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan maksiat. Dan dimungkinkan, bahwa permisalan itu seperti lahiriyahnya; yang maknanya dia mati seperti orang jahiliyah, walaupun dia bukan orang jahiliyah. Atau bahwa kalimat itu disampaikan sebagai peringatan dan untuk menjauhkan, sedangkan secara lahiriyah bukanlah yang dimaksudkan”. (Fathul-Bâri, 13/9, syarah hadits no. 7054).

Kaum muslimin rahimakumulloh...
Terakhir kita dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa, Bai’at adalah bagian dari syari’at Islam itu sendiri yang wajib dilaksanakan oleh  kaum Muslimin.
Kemudian Bai’at untuk mendengar dan taat ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, hanyalah ditujukan kepada beliau. Kemudian setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, maka hak menerima baiat itu dimiliki Khalifah/Amirul Mu’minin pengganti beliau. Wallahu a'lam bishshawwab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar