Segala puji hanya milik Alloh subhanahu wa
ta'ala, shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasululloh shalallohu
alaihi wassallam, keluarganya,shahabatnya,dan Insya Alloh kepada kita semua
yang tetap Istiqomah menetapi jalan-Nya aamiin.
Definisi bai'at
Bai'at secara bahasa berasal dari
kata yang bermakna saling mengikat janji. Disebut mubaya'ah karena
diserupakan seperti dua orang yang saling menukar harta, di mana salah satunya
menjual hartanya kepada yang lain. (Lihat Lisanul 'Arab 8/26, 'Umdatul Qari
1/154, Tajul 'Arus 20/370)
Adapun secara istilah, diterangkan oleh
Badruddin Al-'Aini :
“Seorang imam mengikat perjanjian (untuk taat)
terhadap apa yang dia perintahkan kepada manusia.” ('Umdatul Qari, 1/154)
Ibnu Khaldun mengatakan, “Bai'at adalah
perjanjian untuk taat. Di mana orang yang berbai'at telah berjanji kepada Amir
(pemimpin)nya untuk menyerahkan pandangannya dalam menentukan urusan dirinya
dan kaum muslimin, tidak menyelisihinya dalam hal tersebut, serta menaati apa
yang dibebankan kepada dirinya berupa perintah baik di saat semangat maupun terpaksa.”
(Muqaddimah Ibnu Khaldun, hal. 209)
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa inti dari bai'at tersebut adalah
kewajiban orang yang telah berbai'at kepada orang yang dia telah berbai'at
kepadanya untuk menjalankan serta taat terhadap apa yang telah menjadi
ketetapan dan perintahnya.
Bai’at adalah Syari’at Islam
Bai'at merupakan perkara yang disyariatkan
berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebab
bai'at merupakan salah satu cara dalam menampakkan bentuk ketaatan seseorang
terhadap pemimpinnya. Di antara nash yang menunjukkan disyariatkannya adalah
firman Allah Subhaanahu wa ta'aala :
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap
orang-orang mukmin ketika mereka berbai’at (janji setia) kepadamu di bawah pohon,
maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan
atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat
(waktunya).” (QS Al-Fath:18)
“Wahai Nabi, apabila datang kepadamu
perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan bai’at (janji setia), bahwa
mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, tidak akan mencuri,
tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta
yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka serta tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah bai’at (janji setia)
mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah
Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (QS Al-Mumtahanah:12)
Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia
(bai'at) kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah Tangan
Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya
akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa
menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang
besar. (QS Al-Fath 10)
Adapun hadits Rasulullah Shallallohu 'alaihi
wasallam, di antaranya adalah hadits Ubadah bin Ash-Shamit radiallohu 'anhu, ia
berkata:
“Kami telah membai'at Rasulullah Shallallohu
'alaihi wasallam, untuk selalu mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik di
saat susah maupun mudah, semangat atau terpaksa, dan di saat mereka merampas
hak-hak kami, dan kami tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya, dan agar mengatakan
kebenaran di mana pun kami berada, kami tidak takut karena Allah kepada celaan
orang yang mencela.” (HR. Muslim no. 1709)
Demikian pula ucapan Jarir bin Abdillah
radiallohu 'anhu : “Aku membai'at Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam,
untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan memberi nasihat kepada setiap
muslim.” (Muttafaqun 'alaihi)
Bahkan banyak dalil-dalil yang menunjukkan bahwa setiap muslim wajib berbai'at
kepada pemimpin ummat Islam, serta diharamkan menyelisihinya dan keluar dari
ketaatan kepadanya dalam perkara-perkara yang bukan merupakan bentuk maksiat
kepada Allah Subhaanahu wata'aala.
Diriwayatkan dari Abdulah bin Umar radiallohu
'anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, bersabda:
“Barangsiapa melepaskan ketaatannya maka dia
bertemu Allah dalam keadaan tidak memiliki hujjah dan barangsiapa yang mati
dalam keadaan tidak berbai'at maka dia mati seperti mati jahiliyah.” (HR.
Muslim no. 1851)
Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah radiallohu
'anhu, bahwa Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, bersabda:
“Barangsiapa keluar dari ketaatan dan
meninggalkan jama'ah lalu dia mati, maka dia mati seperti mati jahiliah.” (HR.
Muslim no. 1848)
Rasulullah Shallallohu 'alaihi wasallam, juga
bersabda:
“Siapa yang datang kepada kalian dalam keadaan
kalian telah sepakat terhadap satu orang (untuk jadi pemimpin) lalu dia ingin
merusak persatuan kalian dan memecah jama'ah kalian maka bunuhlah dia.” (HR.
Muslim no. 1852)
Masih banyak lagi dalil-dalil yang semakna dengannya. Al-Hafizh Ibnu
Hajar mengatakan:
“Dalam hadits ini terdapat dalil wajibnya taat
kepada imam (pemimpin kaum muslimin / Khalifah/Amirul mu’minin) yang telah
disepakati untuk dibai'at, serta diharamkan melakukan pemberontakan
terhadapnya, meskipun dia (pemimpin tersebut) berbuat zhalim dalam menetapkan
hukum. Dan bai'at tidak tercabut karena adanya kefasikan yang diperbuatnya.”
(Fathul Bari, 1/72)
Kepada siapa bai’at harus diberikan?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
”Dahulu bani Isroil selalu dipimpin oleh para
Nabi, setiap meninggal seorang Nabi diganti Nabi lainnya, sesungguhnya
setelahku ini tidak ada lagi Nabi dan akan ada beberapa Kholifah bahkan akan
bertambah banyak, shahabat bertanya: “Apa yang engkau perintahkan kepada
kami yaa Rasulalloh?” Beliau menjawab: “Tepatilah bai’atmu yang pertama, maka
untuk yang pertama berikan kepada mereka haknya” (HR Muslim dari Abu
Hurairoh, Shohih Muslim dalam kitabul Imaroh:II/123, Ibnu Majah,Sunan Ibnu
Majah II/204 lafadz Muslim)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
”Apabila dibai’at dua orang Kholifah (dalam
satu masa), maka bunuhlah yang lain dari keduanya (yang terakhir)” (HRMuslim
dari Sa’id Al-Khudri, Shohih Muslim dalam Kitabul Imaroh II/137)
Maksud bai’at dalam beberapa hadits tersebut ialah bai’at taat kepada
Khalifah/Amirul Mu’minin tentunya setelah sistem Nubuwwah (Nabi sebagai Ulil
Amri) yang menegakkan syariat Islam, Sholat,Zakat,Hudud,Qishosh,Rajam dan
mengumumkan perang maupun damai, dan lain-lainnya berkaitan dengan kewajiban
dan hak seorang Khalifah.
Baiat taat ini tidak boleh diberikan kepada pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok
dakwah sebagaimana yang ada pada zaman ini. Karena baiat taat yang dilakukan
Salafush-Shalih hanyalah diberikan kepada pemimpin kaum muslimin. Dengan
demikian, orang-orang yang digelari imam, syaikh, amir, ustadz, atau semacamnya
yang muncul dari kalangan ketua-ketua thariqah, yayasan, jamaah, ataupun
lainnya, maka mereka sama sekali tidak berhak dibaiat. Baiat kepada
mereka merupakan bid'ah dan memecah-belah umat.
Konsekwensi baiat ini, ialah taat kepada imam dalam perkara ma'ruf, dalam
keadaan suka maupun benci, berat maupun susah, dan tidak melakukan
pemberontakan kepadanya. Meninggalkan baiat kepada Imam kaum muslimin merupakan
dosa besar.
Hukum baiat
Hukum baiat adalah wajib, jika memang ada
Imam kaum muslimin/Khalifah/Amirul Mu’minin sebagaimana di atas. Dan melepaskan
baiat merupakan dosa besar, sebagaimana nanti akan kami nukilkan penjelasan
ulama dalam masalah ini.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Barang siapa melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu Allah
pada hari kiamat dengan tidak memiliki hujjah (argumen). Dan barang siapa mati,
sedangkan di lehernya tidak ada baiat, dia mati dengan keadaan kematian
jahiliyah" (HR Muslim, no. 1851. Ahmad dalam al-Musnad, 2/133. Ibnu
Abi 'Ashim dalam as-Sunnah, no. 91, dan lainnya; dari 'Abdullah bin 'Umar).
Adapun makna “dia mati dengan keadaan kematian jahiliyah”, dijelaskan oleh para
ulama sebagai berikut.
1. An-Nawawi rahimahullah berkata: “Yaitu di
atas sifat kematian orang-orang jahiliyah, yang mereka dalam keadaan kacau,
tidak memiliki imam” (Syarah Muslim, 12/238).
2. Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Orang-orang
jahiliyah tidak membaiat imam, dan tidak masuk ke dalam ketaatan imam. Maka
barang siapa di antara kaum muslimin yang tidak masuk ke dalam ketaatan kepada
imam, dia telah menyerupai orang-orang jahiliyah dalam masalah itu. Jika dia
mati dalam keadaan seperti itu, berarti dia mati seperti keadaan mereka, dalam
keadaan melakukan dosa besar”. (Al-Mufhim, 4/59).
3. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang
dimaksud dengan sifat kematian jahiliyah, ialah seperti matinya orang-orang
jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki imam yang ditaati,
karena orang-orang jahiliyah dahulu tidak mengenal hal itu. Dan yang
dimaksudkan, dia mati bukan dalam keadaan kafir, tetapi dia mati dalam keadaan
maksiat. Dan dimungkinkan, bahwa permisalan itu seperti lahiriyahnya; yang
maknanya dia mati seperti orang jahiliyah, walaupun dia bukan orang jahiliyah.
Atau bahwa kalimat itu disampaikan sebagai peringatan dan untuk menjauhkan,
sedangkan secara lahiriyah bukanlah yang dimaksudkan”. (Fathul-Bâri, 13/9,
syarah hadits no. 7054).
Kaum muslimin rahimakumulloh...
Terakhir kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan bahwa, Bai’at adalah bagian dari syari’at Islam itu sendiri yang
wajib dilaksanakan oleh kaum Muslimin.
Kemudian Bai’at untuk mendengar dan taat ketika
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, hanyalah ditujukan kepada
beliau. Kemudian setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat, maka hak
menerima baiat itu dimiliki Khalifah/Amirul Mu’minin pengganti beliau. Wallahu
a'lam bishshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar