Pada edisi yang lalu telah kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita. Sekarang -insya Allah- akan disampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkannya.
Dalil-Dalil yang Tidak Mewajibkan
Inilah secara ringkas dalil-dalil
para ulama yang tidak mewajibkan cadar bagi wanita.
Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلاَ
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nuur: 31)
Tentang perhiasan yang biasa nampak
ini, Ibnu Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.” (Riwayat Ibnu Abi
Syaibah dan Isma’il Al Qadhi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60, Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah, Cet.
I. Tetapi berbagai riwayat dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ini dilemahkan
oleh Syeikh Mushthafa Al Adawi dalam kitabnya Jami’ Ahkamin Nisa.
Tentang hal ini terdapat riwayat-riwayat shahih dari perkataan sebagian
tabi’in. Wallahu a’lam).
Perkataan serupa juga diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Umar. (Riwayat ini dishahihkan oleh Syeikh Al
Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59-60). Berdasarkan
penafsiran kedua sahabat ini jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh
kelihatan, sehingga bukan merupakan aurat yang wajib ditutup.
Kedua, firman Allah,
وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dada (dan leher) mereka.”
(QS. An Nur: 31)
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Allah ta’ala memerintahkan para wanita menutupkan khimar
(kerudung) pada belahan-belahan baju (dada dan lehernya), maka ini merupakan
nash menutupi aurat, leher dan dada. Dalam firman Allah ini juga terdapat nash
bolehnya membuka wajah, tidak mungkin selain itu.” (Al Muhalla
III/216-217, Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 73).
Karena memang makna khimar
(kerudung) adalah penutup kepala. Demikian diterangkan oleh para ulama, seperti
tersebut dalam An Nihayah karya Imam Ibnul Atsir, Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim karya Al Hafizh Ibnu Katsir, Tafsir Fathu Al Qadir karya Asy
Syaukani, dan lainnya. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 72-73).
Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلْ
لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل
لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri
wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah
memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu
yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang
memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan
jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
عَنْ
أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ
بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ
فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ
قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ
الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ
الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu
‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu
duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat
meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan
bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak
jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan,
menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim,
Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)
Juga sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,
يَا
عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ
لَكَ الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau
turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak
(yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada
pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan
lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 77)
Jarir bin Abdullah berkata,
سَأَلْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ
اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka
beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.”
(HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para
ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib
menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang
wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan,
kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh
Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy
Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 77).
Keempat, Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, dia
berkata,
أَنَّ
أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ
الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا
هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا
مُرْسَلٌ خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
Bahwa Asma’ bintu Abi Bakar menemui
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai pakaian tipis. Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling darinya dan berkata, “Wahai
Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah mendapatkan haidh, tidak
pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”, beliau menunjuk wajahnya dan
kedua telapak tangannya. (HR. Abu
Dawud, Thabarani, Ibnu ‘Adi, dari jalan Sa’id bin Basyir dari Qatadah dari
Khalid bin Duraik dari ‘Aisyah. Ibnu ‘Adi berkata, “Terkadang Khalid
mengatakan dari Ummu Salamah, sebagai ganti dari ‘Aisyah.” Sanad hadits ini
lemah, sebagaimana Abu Dawud berkata setelah meriwayatkannya, “Hadits ini
mursal, Khalid bin Duraik tidak bertemu ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Demikian
juga perawi bernama Sa’id bin Basyir lemah.”)
Hadits ini sesungguhnya lemah,
tetapi Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa
penguat (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 58).
(1) Riwayat mursal shahih dari
Qatadah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Jika
seorang gadis kecil telah haidh, maka tidak pantas terlihat sesuatu darinya
kecuali wajahnya dan tangannya sampai pergelangan.” (Tetapi kemungkinan
riwayat ini sama sanadnya dengan riwayat di atas, yaitu Qatadah mendapatkan
hadits ini dari Khalid bin Duraik, sehingga tidak dapat menguatkan. Wallahu
a’lam).
(2) Diriwayatkan oleh Thabrani dan
Al Baihaqi dari jalan Ibnu Luhai’ah, dari ‘Iyadh bin Abdullah, bahwa dia
mendengar Ibrahim bin ‘Ubaid bin Rifa’ah Al Anshari menceritakan dari bapaknya,
aku menyangka dari Asma’ binti ‘Umais yang berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam masuk menemui ‘Aisyah, dan di dekat ‘Aisyah ada saudarinya,
yaitu Asma bintu Abi Bakar. Asma memakai pakaian buatan Syam yang longgar
lengan bajunya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya,
beliau bangkit lalu keluar. Maka ‘Aisyah berkata kepada Asma, “Menyingkirlah
engkau, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat
perkara yang tidak beliau sukai. Maka Asma menyingkir. Kemudian Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, lalu Aisyah bertanya kenapa beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit (dan keluar). Maka beliau menjawab,
“Tidakkah engkau melihat keadaan Asma, sesungguhnya seorang wanita muslimah itu
tidak boleh tampak darinya kecuali ini dan ini”, lalu beliau memegangi kedua
lengan bajunya dan menutupkan pada kedua telapak tangannya, sehingga yang
nampak hanyalah jari-jarinya, kemudian meletakkan kedua telapak tangannya pada
kedua pelipisnya sehingga yang nampak hanyalah wajahnya.”
Al-Baihaqi menyatakan, “Sanadnya
dha’if.” Kelemahan hadits ini karena perawi yang bernama Ibnu Luhai’ah
sering keliru setelah menceritakan dengan hafalannya, yang sebelumnya dia
seorang yang utama dan terpercaya ketika menceritakan dengan bukunya. Syaikh Al
Albani menyatakan bahwa haditsnya ini dapat dijadikan penguat. (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
(3) Pendapat sebagian sahabat
(seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar) yang menjelaskan perhiasan yang biasa nampak
yang boleh tidak ditutup, yaitu wajah dan telapak tangan. Lihat Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah, hal. 59).
Kelima, Jabir bin Abdillah berkata,
شَهِدْتُ
مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ
الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا
إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ
وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى
أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ
أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ
سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ
تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ
مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ
وَخَوَاتِمِهِنَّ
Aku menghadiri shalat hari ‘ied
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat
sebelum khutbah, dengan tanpa azan dan tanpa iqamat. Kemudian beliau bersandar
pada Bilal, memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk
menaati-Nya. Beliau menasihati dan mengingatkan orang banyak. Kemudian beliau
berlalu sampai mendatangi para wanita, lalu beliau menasihati dan mengingatkan
mereka. Beliau bersabda, “Hendaklah kamu bersedekah, karena mayoritas kamu
adalah bahan bakar neraka Jahannam!” Maka berdirilah seorang wanita dari
tengah-tengah mereka, yang pipinya merah kehitam-hitaman, lalu bertanya,
“Kenapa wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Karena kamu banyak mengeluh dan
mengingkari (kebaikan) suami.” Maka para wanita itu mulai bersedekah dengan
perhiasan mereka, yang berupa giwang dan cincin, mereka melemparkan pada kain
Bilal. (HSR Muslim, dan lainnya)
Hadits ini jelas menunjukkan wajah
wanita bukan aurat, yakni bolehnya wanita membuka wajah. Sebab jika tidak,
pastilah Jabir tidak dapat menyebutkan bahwa wanita itu pipinya merah
kehitam-hitaman. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 59) (Tetapi
dalil ini dibantah dengan penjelasan bahwa hadits ini yang mahfudz (shahih)
dengan lafazh min safilatin nisa’ (dari wanita-wanita rendah) sebagai
ganti lafazh sithatin nisa’ (dari wanita dari tengah-tengah). Yang hal
itu mengisyaratkan wanita tersebut adalah budak, sedangkan budak tidak wajib
menutupi wajah. Atau kejadian ini sebelum turunnya ayat hijab. Wallahu a’lam).
Keenam, Ibnu Abbas berkata,
أَرْدَفَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْفَضْلَ بْنَ عَبَّاسٍ …
فَوَقَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنَّاسِ يُفْتِيهِمْ
وَأَقْبَلَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ وَضِيئَةٌ تَسْتَفْتِي رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
وَأَعْجَبَهُ حُسْنُهَا فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَالْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا فَأَخْلَفَ بِيَدِهِ فَأَخَذَ بِذَقَنِ الْفَضْلِ
فَعَدَلَ وَجْهَهُ عَنِ النَّظَرِ إِلَيْهَا …
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memboncengkan Al Fadhl bin Abbas… kemudian beliau berhenti untuk memberi
fatwa kepada orang banyak. Datanglah seorang wanita yang cantik dari suku
Khats’am meminta fatwa kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mulailah Al Fadhl melihat wanita tersebut, dan kecantikannya mengagumkannya.
Nabi ‘alaihi wa sallam pun berpaling, tetapi Al Fadhl tetap melihatnya. Maka
nabi ‘alaihi wa sallam memundurkan tangannya dan memegang dagu Al Fadhl,
kemudian memalingkan wajah Al Fadhl dari melihatnya…” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Kisah ini juga diriwayatkan oleh Ali
bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu, dan dia menyebutkan bahwa permintaan
fatwa itu terjadi di tempat penyembelihan kurban, setelah Rasulullah
melemparkan jumrah, lalu dia menambahkan, “Maka Abbas berkata kepada
Rasulullah ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kenapa anda memalingkan leher
anak pamanmu?” Beliau menjawab, “Aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
sehingga aku tidak merasa aman dari syaitan (menggoda) keduanya” (HR.
Tirmidzi, Ahmad, dan lainnya. Syaikh Al Albani menyatakan, “Sanadnya bagus”)
Dengan ini berarti, bahwa peristiwa
tersebut terjadi setelah tahallul (selesai) dari ihram, sehingga wanita
tersebut bukanlah muhrimah (wanita yang sedang berihram, dengan hajji atau
umrah).
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Seandainya wajah wanita merupakan aurat yang wajib ditutupi,
tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan wanita tersebut
membuka wajahnya di hadapan orang banyak. Pastilah beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam memerintahkan wanita itu untuk menurunkan (jilbabnya) dari atas
(kepala untuk menutupi wajah). Dan seandainya wajahnya tertutup, tentulah Ibnu
Abbas tidak mengetahui wanita itu cantik atau buruk.”
Ibnu Baththal rahimahullah
mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat perintah untuk menahan pandangan
karena khawatir fitnah. Konsekuensinya jika aman dari fitnah, maka tidak
terlarang. Hal itu dikuatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
memalingkan wajah Al Fadhl sampai dia menajamkan pandangan, karena kekagumannya
terhadap wanita tersebut, sehingga beliau khawatir fitnah menimpanya. Di dalam
hadits ini juga terdapat (dalil) pertarungan watak dasar manusia terhadapnya
serta kelemahan manusia dari kecenderungan dan kekaguman terhadap wanita. Juga
terdapat (dalil) bahwa istri-istri kaum mukminin tidak wajib berhijab sebagaimana
istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena (kalau memang hal itu)
wajib bagi seluruh wanita, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kepada wanita dari suku Khats’am tersebut untuk menutupi
(dirinya) dan tidak memalingkan wajah Al Fadhl. Di dalamnya juga terdapat
(dalil) bahwa menutup wajah wanita tidak wajib, Para ulama berijma’ bahwa
wanita boleh menampakkan wajahnya ketika shalat, walaupun dilihat oleh
laki-laki asing.” (Fathu Al-Bari XI/8)
Perkataan Ibnu Baththal rahimahullah
tersebut dibantah oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, dengan alasan bahwa wanita dari
suku Khats’am tersebut muhrimah (wanita yang sedang berihram). Tetapi Syaikh Al
Albani menyatakan, bahwa yang benar wanita itu bukan muhrimah (wanita yang
sedang berihram), sebagaimana penjelasan di atas. Seandainya wanita itu
muhrimah (wanita yang sedang berihram), maka pendapat Ibnu Baththal itu tetap
kuat. Karena wanita muhrimah itu boleh melabuhkan jilbabnya ke wajahnya di
hadapan laki-laki asing, sebagaimana hadits tentang hal ini. (Lihat haditsnya
pada edisi terdahulu, pada dalil ke 13 yang mewajibkan cadar). Maka hadits ini
menunjukkan bahwa cadar tidaklah wajib bagi wanita, walaupun dia memiliki wajah
yang cantik, tetapi hukumnya adalah disukai (sunah). Peristiwa ini terjadi di
akhir kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di hadapan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, sehingga hukumnya muhkam (tetap; tidak dihapus). (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 61-64).
-bersambung insya Allah-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar