Ketujuh, Sahl bin Sa’d berkata,
أَنَّ
امْرَأَةً جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ جِئْتُ لِأَهَبَ لَكَ نَفْسِي فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَعَّدَ النَّظَرَ إِلَيْهَا وَصَوَّبَهُ
ثُمَّ طَأْطَأَ رَأْسَهُ…
“Bahwa seorang wanita datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya
datang untuk menghibahkan diriku kepada Anda.” Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau menaikkan dan menurunkan pandangan
kepadanya. Lalu beliau menundukkan kepalanya……” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah
menyatakan, “Di dalam hadits ini juga terdapat (dalil) bolehnya
memperhatikan kecantikan seorang wanita karena berkehendak menikahinya… tetapi
(pemahaman) ini terbantah dengan anggapan bahwa hal itu khusus bagi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau ma’shum, dan yang telah menjadi
kesimpulan kami, bahwa tidak haram bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk melihat wanita mukmin yang bukan mahram, ini berbeda dengan selain
beliau. Sedangkan Ibnul ‘Arabi menempuh cara lain dalam menjawab hal tersebut,
dia mengatakan, “Kemungkinan hal itu sebelum (kewajiban) hijab, atau setelahnya
tetapi dia menyelubungi dirinya.” Tetapi rangkaian hadits ini jauh dari apa
yang dia katakan.” (Fathul Bari IX/210).
Kedelapan, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
كُنَّ
نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ
إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ
الْغَلَسِ
“Dahulu wanita-wanita mukminah biasa
menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka menutupi tubuh (mereka) dengan selimut. Kemudian (mereka) kembali ke
rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun
mengenal mereka karena gelap.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain,
وَمَا
يَعْرِفُ بَعْضُنَا وُجُوْهَ بَعْضٍ
“Dan sebagian kami tidak mengenal
wajah yang lain.” (HR. Abu Ya’la di dalam Musnadnya.
Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal.
66)
Dari perkataan ‘Aisyah, “Tidak
ada seorangpun mengenal mereka karena gelap.” dapat dipahami, jika tidak
gelap niscaya dikenali, sedangkan mereka dikenali -menurut kebiasaan- dari
wajahnya yang terbuka. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 65).
Kesembilan, ketika Fatimah binti Qais dicerai thalaq tiga oleh
suaminya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang
kepadanya memerintahkan agar dia ber-’iddah di rumah Ummu Syuraik. Tetapi
kemudian beliau mengutus seseorang kepadanya lagi dengan menyatakan,
أَنَّ
أُمَّ شَرِيكٍ يَأْتِيهَا الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ فَانْطَلِقِي إِلَى ابْنِ
أُمِّ مَكْتُومٍ الْأَعْمَى فَإِنَّكِ إِذَا وَضَعْتِ خِمَارَكِ لَمْ يَرَكِ
فَانْطَلَقَتْ إِلَيْهِ …
“Bahwa Ummu Syuraik biasa didatangi
oleh orang-orang Muhajirin yang pertama. Maka hendaklah engkau pergi ke (rumah)
Ibnu Ummi Maktum yang buta, karena jika engkau melepaskan khimar (kerudung,
penutup kepala) dia tidak akan melihatmu. Fathimah binti Qais pergi kepadanya…” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa wajah
bukan aurat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membenarkan
Fathimah binti Qais dengan memakai khimar dilihat oleh laki-laki. Hal ini
menunjukkan bahwa wajahnya tidak wajib ditutup, sebagaimana kewajiban menutup
kepalanya. Tetapi karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir
dia melepaskan khimarnya (kerudung), sehingga akan nampak apa yang harus
ditutupi, maka beliau memerintahkannya dengan yang lebih selamat untuknya;
yaitu berpindah ke rumah Ibnu Ummi Maktum yang buta. Karena dia tidak akan melihatnya
jika Fathimah binti Qais melepaskan khimar. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, hal. 65).
Peristiwa ini terjadi di akhir
kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Fathimah binti Qais
menyebutkan bahwa setelah habis ‘iddahnya dia mendengar Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menceritakan kisah tentang Dajjal dari Tamim Ad Dari yang
baru masuk Islam dari Nasrani. Sedangkan Tamim masuk Islam tahun 9 H. Adapun
ayat jilbab turun tahun 3 H atau 5 H, sehingga kejadian ini setelah adanya
kewajiban berjilbab. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 66-67).
Kesepuluh, Abdurrahman bin ‘Abis,
سَمِعْتُ
ابْنَ عَبَّاسٍ قِيلَ لَهُ أَشَهِدْتَ الْعِيدَ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ نَعَمْ وَلَوْلَا مَكَانِي مِنَ الصِّغَرِ مَا
شَهِدْتُهُ حَتَّى أَتَى الْعَلَمَ الَّذِي عِنْدَ دَارِ كَثِيرِ بْنِ الصَّلْتِ
فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَوَعَظَهُنَّ
وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَرَأَيْتُهُنَّ يَهْوِينَ
بِأَيْدِيهِنَّ يَقْذِفْنَهُ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ ثُمَّ انْطَلَقَ هُوَ وَبِلَالٌ
إِلَى بَيْتِهِ
“Saya mendegar Ibnu Abbas ditanya,
“Apakah Anda (pernah) menghadiri (shalat) ‘ied bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam?” Dia menjawab, “Ya, dan jika bukan karena posisiku (umurku) yang
masih kecil, niscaya saya tidak menyaksikannya. (Rasulullah keluar) sampai
mendatangi tanda yang ada di dekat rumah Katsir bin Ash Shalt, lalu beliau
shalat, kemudian berkhutbah. Lalu beliau bersama Bilal mendatangi para wanita,
kemudian menasihati mereka, mengingatkan mereka, dan memerintahkan mereka untuk
bersedekah. Maka aku lihat para wanita mengulurkan tangan mereka melemparkannya
(cincin, dan lainnya sebagai sedekaah) ke kain Bilal. Kemudian Beliau dan Bilal
pulang ke rumahnya.” (HR. Bukhari, Abu Daud, Nasai, dan
lainnya. Lafazh hadits ini riwayat Bukhari dalam Kitab Jum’ah)
Ibnu Hazm rahimahullah
berkata, “Inilah Ibnu Abbas -di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam- melihat tangan para wanita, maka benarlah bahwa tangan dan wajah wanita
bukan aurat, adapun selainnya wajib ditutup.”
Pengambilan dalil ini tidak dapat
dibantah dengan perkataan, kemungkinan kejadian ini sebelum turunnya ayat
jilbab, karena peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat jilbab. Dengan
dalil, Imam Ahmad meriwayatkan (dengan tambahan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam membacakan ayat bai’atun nisa’ (surat Al Mumtahanah: 12),
padahal ayat ini turun pada Fathu Makkah, tahun 8 H, sebagaimana perkataan
Muqatil. Sedangkan perintah jilbab (hijab) turun tahun 3 H atau 5 H ketika Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab binti Jahsy (Lihat Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 67, 75).
Kesebelas, dari Subai’ah binti Al-Harits,
أَنَّهَا
كَانَتْ تَحْتَ سَعْدِ ابْنِ خَوْلَةَ فَتُوُفِّيَ عَنْهَا فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ
وَكَانَ بَدْرِيًّا فَوَضَعَتْ حَمْلَهَا قَبْلَ أَنْ يَنْقَضِيَ أَرْبَعَةُ
أَشْهُرٍ وَعَشْرٌ مِنْ وَفَاتِهِ فَلَقِيَهَا أَبُو السَّنَابِلِ يَعْنِي ابْنَ
بَعْكَكٍ حِينَ تَعَلَّتْ مِنْ نِفَاسِهَا وَقَدِ اكْتَحَلَتْ (وَاحْتَضَبَتْ وَ
تَهَيَّأَتْ) فَقَالَ لَهَا ارْبَعِي عَلَى نَفْسِكِ أَوْ نَحْوَ هَذَا لَعَلَّكِ
تُرِيدِينَ النِّكَاحَ
Bahwa dia menjadi istri Sa’d bin
Khaulah, lalu Sa’d wafat pada haji wada’, dan dia seorang Badari (sahabat yang
ikut perang Badar). Lalu Subai’ah binti Al Harits melahirkan kandungannya
sebelum selesai 4 bulan 10 hari dari wafat suaminya. Kemudian Abu As Sanabil
(yakni Ibnu Ba’kak) menemuinya ketika nifasnya telah selesai, dan dia telah
memakai celak mata (dan memakai inai pada kuku tangan, dan bersip-siap). Lalu
Abu As Sanabil berkata kepadanya, “Jangan terburu-buru (atau kalimat semacamnya)
mungkin engkau menghendaki nikah…”
(HR. Ahmad. Dishahihkan Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah,
hal. 69. Asal kisah riwayat Bukhari dan Muslim)
Hadits ini nyata menunjukkan, bahwa
kedua telapak tangan dan wajah atau mata bukanlah aurat pada kebiasaan para
wanita sahabat. Karena jika merupakan aurat yang harus ditutup, tentulah
Subai’ah tidak boleh menampakkannya di hadapan Abu As Sanabil. Peristiwa ini
nyata terjadi setelah kewajiban jilbab (hijab), yaitu setelah haji wada’, tahun
10 H. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 69).
Keduabelas, Atha bin Abi Rabah berkata,
قَالَ
لِي ابْنُ عَبَّاسٍ أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ قُلْتُ بَلَى
قَالَ هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي
قَالَ إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ
أَنْ يُعَافِيَكِ فَقَالَتْ أَصْبِرُ فَقَالَتْ إِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ
اللَّهَ لِي أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا
Ibnu Abbas berkata kepadaku, “Maukah
kutunjukkan kepadamu seorang wanita dari penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”.
Dia berkata, “Itu wanita yang hitam, dia dahulu mendatangi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Sesungguhnya aku memiliki penyakit ayan
(epilepsi), dan (jika kambuh, auratku) terbuka. Berdoalah kepada Allah untuk
(kesembuhan) ku!”. Beliau menjawab, “Jika engkau mau bersabar (terhadap
penyakit ini), engkau mendapatkan surga. Tetapi jika engkau mau, aku akan
berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Wanita tadi berkata, “Aku akan
bersabar. Tetapi (jika kambuh penyakitku, auratku) terbuka, maka berdoalah
kepada Allah untukku agar (jika kambuh, auratku) tidak terbuka.” Maka beliau
mendoakannya. (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad)
Ketiga belas, Ibnu Abbas berkata,
كَانَتِ
امْرَأَةٌ تُصَلِّي خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
حَسْنَاءَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ فَكَانَ بَعْضُ الْقَوْمِ يَتَقَدَّمُ حَتَّى
يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْأَوَّلِ لِئَلَّا يَرَاهَا وَيَسْتَأْخِرُ بَعْضُهُمْ
حَتَّى يَكُونَ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ فَإِذَا رَكَعَ نَظَرَ مِنْ تَحْتِ
إِبْطَيْهِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى ( وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ
مِنْكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ )
Dahulu ada seorang wanita yang
sangat cantik shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka
sebagian laki-laki maju, sehingga berada di shaf pertama agar tidak melihat
wanita itu. Tetapi sebagian orang mundur, sehingga berada di shaf belakang.
Jika ruku’, dia dapat melihat (wanita itu) dari sela ketiaknya. Maka Allah
menurunkan (ayat),
وَلَقَدْ
عَلِمْنَا الْمُسْتَقْدِمِينَ مِنكُمْ وَلَقَدْ عَلِمْنَا الْمُسْتَأْخِرِينَ
“Dan sesungguhnya Kami telah
mengetahui orang-orang yang terdahulu daripadamu dan sesungguhnya Kami
mengetahui pula orang-orang yang terkemudian (daripadamu).” (QS. Al Hijr: 24) (HR. Ash Habus Sunan, Al Hakim, dan
lainnya. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 2472. Lihat
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 70).
Hadits ini menunjukkan bahwa di
zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Keempat belas, Ibnu Mas’ud berkata,
رَأَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ
فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ
فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً تُعْجِبُهُ
فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu membuat beliau terpesona,
kemudian beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang membuat minyak
wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu meninggalkan
beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda: “Siapa pun
lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu membuatnya terpesona,
maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu
ada yang semisal apa yang ada pada wanita itu.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini
riwayat Darimi. Lihat takhrijnya di dalam Ash-Shahihah no. 235)
Sebagaimana hadits sebelumnya,
hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
Kelima belas, Dari Abdullah bin Muhammad, dari seorang wanita di antara
mereka yang berkata,
دَخَلَ
عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا آكُلُ
بِشِمَالِي وَكُنْتُ امْرَأَةً عَسْرَاءَ فَضَرَبَ يَدِي فَسَقَطَتِ اللُّقْمَةُ
فَقَالَ لَا تَأْكُلِي بِشِمَالِكِ وَقَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكِ يَمِينًا أَوْ
قَالَ وَقَدْ أَطْلَقَ اللَّهُ يَمِينَكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam masuk menemuiku ketika aku sedang makan dengan tangan kiriku, karena aku
seorang wanita yang kidal. Maka beliau memukul tanganku sehingga sesuap makanan
jatuh. Lalu beliau bersabda, “Janganlah engkau makan dengan tangan kirimu, sedangkan
Allah telah menjadikan tangan kanan untukmu.” Atau bersabda, “Sedangkan Allah
telah menyembuhkan tangan kananmu.”
(HR. Ahmad dan Thabarani. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al
Mar’ah Al Muslimah, hal. 72)
Keenam belas, berlakunya perbuatan ini setelah wafatnya Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits di atas jelas menunjukkan tentang
perbuatan sebagian sahabiah yang membuka wajah dan telapak tangan pada zaman
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan hal ini terus berlangsung
setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat. Sebagaimana
ditunjukkan dengan 16 riwayat yang dibawakan Syaikh Al Albani dalam Jilbab
Al Mar’ah Al Muslimah (hal. 96-103). Ini semua menguatkan, bahwa wajah dan
telapak tangan wanita bukanlah aurat sehingga wajib ditutup.
Ketujuh belas, anggapan terjadinya ijma’ tentang wajah dan telapak tangan
merupakan aurat yang wajib ditutup, tidaklah benar. Bahkan telah terjadi
perselisihan di antara ulama. Pendapat tiga imam (Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
dan Imam Syafi’i), menyatakan bukan sebagai aurat. Ini juga merupakan satu
riwayat dari Imam Ahmad. Di antara ulama besar mazhab Hambali yang menguatkan
pendapat ini ialah dua imam; yakni Ibnu Qudamah dan Imam Ibnu Muflih. Ibnu
Qudamah rahimahullah menyatakan dalam Al Mughni, “Karena kebutuhan mendorong
telah dibukanya wajah untuk jual-beli, dan membuka telapak tangan untuk
mengambil dan memberi.” (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal.
7-9).
Kedelapan belas (tambahan), dalil-dalil shahih di atas dengan tegas
menunjukkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, wajah
dan telapak tangan wanita biasa terbuka. Berarti wajah dan telapak tangan
wanita dikecualikan dari kewajiban untuk ditutup. Sebagian keterangan di atas
juga menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat
hijab (jilbab). Sehingga menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan telapak
tangan bagi wanita tidak terhapus oleh ayat jilbab. Kemudian, seandainya tidak
diketahui bahwa peristiwa-peristiwa itu terjadi setelah turunnya ayat
hijab/jilbab, maka hal itu menunjukkan diperbolehkannya membuka wajah dan
telapak tangan bagi wanita. Sedangkan menurut kaidah, bahwa setiap hukum itu
tetap sebagaimana sebelumnya sampai ada hukum lain yang menghapusnya. Maka
orang yang mewajibkan wanita menutup wajah wajib membawakan dalil yang
menghapuskan bolehnya wanita membuka wajah dan telapak tangan. Adakah hal itu?
Bahkan yang didapati ialah keterangan dan dalil yang memperkuat hukum asal
tersebut.
-bersambung insya Allah-
Meski tidak wajib, berjilbab nutup aurat tetap wajib tad: Asbabun Nuzul Surat Al-Ahzab Ayat 59 Tentang Wajibnya Berhijab
BalasHapus