]إِنَّمَا الْمًؤْمِنُوْنَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوْا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوْا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ[
Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah
bersaudara. Karena itu, damaikanlah kedua saudara kalian, dan bertakwalah
kalian kepada Allah supaya kalian mendapatkan rahmat. (QS al-Hujurat [49]: 10).
Ayat ini merupakan
kelanjutan sekaligus penegasan perintah dalam ayat sebelumnya untuk meng-ishlâh-kan
kaum Mukmin yang bersengketa.[1] Itu
adalah solusi jika terjadi persengketaan. Namun, Islam juga memberikan
langkah-langkah untuk mencegah timbulnya persengketaan. Misal, dalam dua ayat
berikutnya, Allah Swt. melarang beberapa sikap yang dapat memicu pertikaian,
seperti saling mengolok-olok dan mencela orang lain, panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk (QS al-Hujurat [49]: 11); banyak berprasangka,
mencari-cari kesalahan orang lain, dan menggunjing saudaranya (QS al-Hujurat
[49]: 12).
Tafsir Ayat
Allah Swt.
berfirman: Innamâ al-Mu‘minûn ikhwah. (Sesungguhnya orang-orang Mukmin
itu bersaudara). Siapapun, asalkan Mukmin, adalah bersaudara. Sebab, dasar ukhuwah
(persaudaraan) adalah kesamaan akidah.
Ayat ini
menghendaki ukhuwah kaum Mukmin harus benar-benar kuat, lebih kuat
daripada persaudaraan karena nasab. Hal itu tampak dari: Pertama,
digunakannya kata ikhwah—dan kata ikhwan—yang merupakan jamak
dari kata akh[un] (saudara). Kata ikhwah dan ikhwan
dalam pemakaiannya bisa saling menggantikan. Namun, umumnya kata ikhwah dipakai
untuk menunjuk saudara senasab, sedangkan ikhwan untuk menunjuk kawan
atau sahabat.[2]
Dengan memakai kata ikhwah, ayat ini hendak menyatakan bahwa ukhuwah
kaum Muslim itu lebih daripada persahabatan atau perkawanan biasa.
Kedua, ayat ini diawali dengan kata innamâ.
Meski secara bahasa, kata innamâ tidak selalu bermakna hasyr (pembatasan),[3]
kata innamâ dalam ayat ini memberi makna hasyr. Artinya, tidak
ada persaudaraan kecuali antar sesama Mukmin, dan tidak ada persaudaraan di
antara Mukmin dan kafir.[4]
Ini mengisyaratkan bahwa ukhuwah Islam lebih kuat daripada persaudaraan
nasab. Persaudaraan nasab bisa terputus karena perbedaan agama.
Sebaliknya, ukhuwah Islam tidak terputus karena perbedaan nasab.[5]
Bahkan, persaudaraan nasab dianggap tidak ada jika kosong dari persaudaraan
(akidah) Islam.[6]
Hal ini tampak,
misalnya, dalam hal waris. Tidak ada hak waris antara Mukmin dan kafir dan
sebaliknya. Jika seorang Muslim meninggal dan ia hanya memiliki saudara yang
kafir, saudaranya yang kafir itu tidak boleh mewarisi hartanya, namun harta itu
menjadi milik kaum Muslim. Sebaliknya, jika saudaranya yang kafir itu
meninggal, ia tidak boleh mewarisi harta saudaranya itu.[7]
Dalam hal kekuasaan, umat Islam tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai wali
(pemimpin), sekalipun ia adalah bapak dan saudara mereka (QS at-Taubah [9]:
23).
Kemudian Allah
Swt. berfirman: fa ashlihû bayna akhawaykum (Karena itu,
damaikanlah kedua saudara kalian). Karena bersaudara, normal dan alaminya
kehidupan mereka diliputi kecintaan, perdamaian, dan persatuan. Jika
terjadi sengketa dan peperangan di antara mereka, itu adalah penyimpangan, yang
harus dikembalikan lagi ke keadaan normal dengan meng-ishlâh-kan mereka
yang bersengketa, yakni mengajak mereka untuk mencari solusinya pada hukum
Allah dan Rasul-Nya.[8]
Kata akhawaykum
(kedua saudara kalian) menunjukkan jumlah paling sedikit terjadinya
persengketaan. Jika dua orang saja yang bersengketa sudah wajib
didamaikan, apalagi jika lebih dari dua orang.[9]
Digunakannya kata akhaway (dua orang saudara) memberikan makna, bahwa
sengketa atau pertikaian di antara mereka tidak mengeluarkan mereka dari tubuh
kaum Muslim. Mereka tetap disebut saudara. Ayat sebelumnya pun menyebut dua
kelompok yang saling berperang sebagai Mukmin. Adapun di-mudhâf-kannya
kata akhaway dengan kum (kalian, pihak yang diperintah)
lebih menegaskan kewajiban ishlâh (mendamaikan) itu sekaligus
menunjukkan takhshîsh (pengkhususan) atasnya.[10]
Artinya, segala sengketa di antara sesama Mukmin adalah persoalan internal umat
Islam, dan harus mereka selesaikan sendiri.
Perintah dalam
ayat ini merupakan penyempurna perintah ayat sebelumnya. Ayat sebelumnya
mengatakan: wa in thâ’ifatâni min al-Mu‘minîna [i]qtatalû (jika ada dua
golongan dari kaum Mukmin berperang). Kata thâ’ifatâni (dua golongan)
dapat membuka celah kesalahan persepsi, seolah ishlâh hanya
diperintahkan jika dua kelompok berperang, sedangkan jika dua orang bertikai,
apalagi tidak sampai perang ([i]qtatalû) seperti hanya saling mencaci
dan memaki, dan tidak menimbulkan kerusakan umum, tidak harus di-ishlâh.
Karena itu, firman Allah Swt. bayna akhawaykum itu menutup celah salah
persepsi itu. Jadi, meski yang bersengketa hanya dua orang Muslim dan masih
dalam taraf yang paling ringan, ishlâh harus segera dilaksanakan.[11]
Selanjutnya Allah
Swt. berfirman: wa [i]ttaqû Allâh la‘allakum turhamûn (dan
bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat rahmat). Takwa harus
dijadikan panduan dalam melakukan ishlâh dan semua perkara. Dalam
melakukan ishlâh itu, kaum Mukmin harus terikat dengan kebenaran dan
keadilan; tidak berbuat zalim dan tidak condong pada salah satu pihak. Sebab,
mereka semua adalah saudara yang disejajarkan oleh Islam.[12]
Artinya, sengketa itu harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan hukum-hukum
Allah, yakni ber-tahkîm pada syariat. Dengan begitu, mereka akan
mendapat rahmat Allah Swt.
Membangun
Ukhuwah Islamiyah, Menolak 'Ashabiyyah
Jelas sekali ayat
ini mewajibkan umat Islam agar bersatu dengan akidah Islam sebagai landasan
persatuan mereka. Islam menolak setiap paham selain akidah Islam sebagai dasar
persatuan. Nasionalisme, misalnya, menurut Islam, termasuk 'ashâbiyyah
(fanatisme golongan) yang terlarang. Rasul saw. bersabda:
«لَيْسَ
مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى
عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ»
Tidak termasuk golongan kami orang yang
menyerukan 'ashabiyyah, yang berperang karena 'ashabiyyah, dan yang mati
membela 'ashabiyyah (HR
Abu Dawud).
Seseorang
pernah bertanya kepada Rasul saw., “Apakah seseorang mencintai kaumnya
termasuk 'ashabiyyah?” Beliau menjawab:
«لاَ،
وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلى الظُّلْمِ»
Tidak. Akan tetapi, termasuk 'ashabiyyah jika
seseorang menolong kaumnya atas dasar kezaliman. (HR Ibnu Majah).
Nasionalisme
adalah paham yang menjadikan kesamaan bangsa sebagai dasar persatuan. Paham ini
termasuk bagian dari seruan-seruan jahiliah (da‘wâ al-jâhiliyyah).
Nasionalisme menjadikan loyalitas dan pembelaan terhadap bangsa mengalahkan
loyalitas dan pembelaan terhadap Islam. Halal-haram pun akan dikalahkan ketika bertabrakan
dengan ‘kepentingan nasional’. Akibatnya, kepentingan bangsa, meski menyalahi
syariat, akan dibela. Jelas paham ini termasuk 'ashâbiyyah yang
diharamkan Islam.
Perwujudan
Ukhuwah Islamiyah
Ukhuwah Islamiyah harus diwujudkan secara nyata. Syariat telah menjelaskan
banyak sekali sikap dan perilaku sebagai perwujudannya. Misal, sikap saling
mencintai sesama Muslim. Rasul saw. bersabda:
«لاَ
تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا
...»
Kalian tidak masuk surga hingga kalian beriman dan belum sempurna keimanan
kalian hingga kalian saling mencintai … (HR Muslim).
Kaum Muslim juga harus saling bersikap dzillah; meliputi
kasih-sayang, welas asih, dan lemah lembut (QS al-Maidah [5]: 54); bersikap
rahmah terhadap umat Islam (QS al-Fath [48]: 29); dan rendah hati kepada
kaum Mukmin (QS al-Hijr [15]: 88).
Mereka juga diperintahkan untuk tolong-menolong; membantu kebutuhan dan
menghilangkan kesusahan saudaranya; melindungi kehormatan, harta, dan darahnya;
menjaga rahasianya; menerima permintaan maafnya; dan saling memberikan nasihat.
Masih sangat banyak manfestasi ukhuwah lainnya.
Harus dicatat, wujud ukhuwah islamiyah tidak hanya bersifat individual,
namun juga harus diwujudkan dalam tatanan kehidupan yang dapat menjaga
keberlangsungannya. Di sinilah Islam telah mewajibkan umatnya agar hanya
memiliki satu negara dan satu kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang khalifah.
Rasulullah saw. bersabda:
«إِذَا
بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا اْلآخَرَ مِنْهُمَا»
Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah
yang terakhir dari keduanya. (HR Muslim).
Islam juga
melarang setiap usaha memisahkan diri dari Khilafah. Allah Swt.
memerintahkan Khalifah untuk memerangi kaum bughat[13]
(pemberontak) hingga mereka mau kembali ke pangkuan Khilafah (QS al-Hujurat
[49]: 9). Nabi saw. pernah bersabda:
«مَنْ
أَتَاكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ عَلَى رَجُلٍ وَاحِدٍ يُرِيدُ أَنْ يَشُقَّ
عَصَاكُمْ أَوْ يُفَرِّقَ جَمَاعَتَكُمْ فَاقْتُلُوهُ»
Siapa saja yang datang kepada kalian—sedangkan
urusan kalian berada di tangan seseorang (Khalifah)—lalu dia hendak
memecah-belah ikatan kesatuan dan mencerai-beraikan jamaah kalian, maka
bunuhlah dia. (HR Muslim dari
Arfajah).
Islam
menetapkan, kesatuan umat dan negara merupakan salah satu qâdhiyyah
mashiriyyah (perkara utama). Sebab, asy-Syâri‘ telah menjadikan
hidup dan mati untuk menyelesaikannya.[14]
Dengan kesatuan itu, kaum Mukmin menjadi kuat, sebagaimana sabda Rasul saw.:
«الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا»
Mukmin dengan Mukmin lainnya bagaikan satu
bangunan; sebagian menguatkan sebagian lainnya. (HR. Bukhari, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ahmad).
Sayang, saat kaum Muslim terbagi dalam banyak negara seperti sekarang,
mereka menjadi umat yang lemah, terpecah-belah, dan mudah diadu-domba.
Akhirnya, mereka mudah dikuasai musuh-musuh mereka.
Ukhuwah umat Islam yang centang-perenang saat ini harus segera diakhiri.
Caranya, Daulah Khilafah Islamiyah harus segera ditegakkan, niscaya ukhuwah
islamiyah pun akan nyata kembali.
Wallâh a‘lam bi
ash-shawâb. []
[1] Zamahsyari, al-Kasyâf, 2/356, Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq
al-Ta’wîl, 2/583, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995; asy-Syawkani, Fath
al-Qadîr, 5/63, Dar al-Fikr, Beirut. tt; Abu Thayyib al-Qinuji, Fath
al-Bayân, XIII/141, Idarat Ihya’ al-Turats al-Islami, Qathar.1989.
[2] Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-Bahr
al-Muhîth, 8/111, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut.1993; as-Samin
al-Halbi, Ad-Durr al-Mashûn fî ‘Ulûm al-Maknûn, 6/170, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, Beirut. 1994; Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm. 29,
Dar al-Fikr, Beirut. 1992.
[4] Ash-Shabuni, Shafwat al-Tafâsir, 3/217,
Dar al-Fikr, Beirut. 1996; Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 14/11,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990; Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr
al-Munîr, 25/239, Dar al-Fikr, Beirut. 1991.
[13]
Pelaku bughat
adalah orang-orang yang memberontak terhadap negara dan menampakkan
perlawanannya melalui senjata dan mengumumkan perang terhadap Daulah
Islamiyyah. Lihat: Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm.
79, Dar al-Ummah, Beirut. 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar