Ada saatnya seorang harus diam, sebagai bentuk
aplikasi terhadap sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam seperti
termaktub di dalam shahih al-Bukhori dan shahih Muslim dari hadits Abu Hurairah
–radhiallahu’anhu- ia menuturkan : Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa
sallam bersabda :
من كان يؤمن
بالله و اليوم الأخر فليقل خيرا أو ليصمت
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari
akhir maka bertuturlah yang baik atau hendaknya diam
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga
menuturkan sebagaimana dalam hadits hasan riwayat Ahmad dalam musnad 3/158, 177
:
من صمت نجا
Barangsiapa yang diam ia selamat
Sedikit bicara adalah termasuk adab mulia saat
tindakan banyak berbicara menjerumuskan kepada suatu yang tidak memberikan
kemanfaatan. Diam, itulah bahkan pilihan yang terbaik.
Apakah tidak boleh bicara ?. bukan mutlak
demikian itu juga yang dimaksudkan. Ada saatnya untuk berbicara, bahkan harus
berbicara. Kapan? Rasulullah telah membimbing kita dalam sabdanya : Maka
bertuturlah yang baik. Ini adalah perintah Rasul yang tidaklah keluar dari
lisannya kecuali Al-haq. Kontek perintah dalam sabda Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam memberikan pengertian wajib, ketika tidak terdapat
perkara yang memalingkan kepada perkara bukan keharusan.
Saat berdakwah, saat memberikan nasehat, adalah
saat-saat seseorang harus berbicara, lebih umum dari pada itu bertutur-kata
yang baik dan ketika tutur-kata tersebut jelas kemaslahatannya.
Sebagaimana perintah Allah Ta’aala di dalam
firmanNya :
وَقُل
لِّعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنزَغُ
بَيْنَهُمْ ۚ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنسَانِ عَدُوًّا مُّبِينًا
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku:
“Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya
syaitan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu
adalah musuh yang nyata bagi manusia. ( Al-Israa’ 53 )
Demikian juga di dalam firman Allah Ta’aala :
وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُ ۚ وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ ۖ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُولًا
وَأَوْفُوا
الْكَيْلَ إِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيمِ ۚ ذَٰلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan.
Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang
antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang
sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan
melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan
kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar. (Fushshilat : 34-35)
Kembali kepada judul bab : Saatnya Diam.
Memang terkadang saatnya diam lebih utama, saatnya diam lebih layak, saatnya
diam lebih memberikan kemashlahatan. Kapan?
al-Qur’an telah menggambarkan hal tersebut
berkaitan dengan kisah Maryam –‘alaihas salam- ketika mengandung nabi Isa.
Allah Ta’aala memerintahkan kepada Maryam, sebagaimana FirmanNya :
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا
Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu.
jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: “Sesungguhnya Aku Telah
bernazar berpuasa untuk Tuhan yang Maha pemurah, Maka Aku tidak akan berbicara
dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Maryam : 26)
Kenapa Allah memerintahkan saat tersebut kepada
Maryam untuk tidak berbicara kepada seorangpun? Karena keadaan manusia ketika
itu akan mengingkari Maryam berkaitan dengan kehamilan, melahirkan dan
datangnya bayi nabi Isa –‘alaihis sallam-. Sebesar apapun alasan yang
dikemukakan oleh Maryam maka di saat tersebut manusia tidak akan menerima
alasannya. Sehingga mengharuskan untuk diam karena tidak ada kemanfaatan di
saat itu untuk mengemukakan udzur atau alasan sekalipun. Dan Allah Ta’aala
menetapkan dan memiliki hikmah yang lain atas perintah tersebut. Di antaranya
adalah suatu mu’jizat yaitu Nabi Isa –‘alaihis sallam- diberikan kemampuan
Allah Ta’aala untuk berbicara di saat masih bayi.
Demikian pula terdapat kisah yang dialami oleh
ibunda kaum mukminin Ummu ‘Abdillah ‘Aisyah –radhiallahu’nha- sebagaimana
disebutkan dalam hadits al-Bukhori pada nomor 4750 Rasululloh shallallahu’alaihi
wa sallam mengatakan kepada ‘Aisyah :
Amma ba’du, wahai Aisyah , sesungguhnya telah
sampai kepadaku berita demikian dan demikian, sungguh jika engkau terlepas dari
hal itu karena tidak melakukannya, semoga Allah ‘Azza wa jalla menjauhkanmu.
Adapun jika kamu melakukan dosa tersebut, mnta ampunlah kepada Allah dan
bertubatlah kepadaNya, karena seorang yang mengakui dosanya kemudian bertaubat
maka Allah akan menerima taubatnya. Aisyah berkata : Ketika Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam selesai berkata, air mataku semakin deras mengalir
hingga tidak terasa lagi tetesan air mata tersebut. Maka saya berkata kepada
ayahku : “ Jawablah apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam
mengenai diriku. Ayahkupun berkata : “Saya tidak tahu, demi Allah saya tidak
akan berbicara kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Lalu saya
berkata kepada ibuku : “ Jawablah kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam mengenai diriku “. Ibuku berkata ; “Demi Allah, saya tidak tahu apa yang
harus saya katakan kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. ‘Aisyah
berkata : “Saya adalah seorang gadis kecil usianya, saya tidak banyak membaca
Al-Qur’an. Demi Allah, sungguh aku mengetahui engkau telah mendengar hal ini
hingga kamu merasa mantap dan percaya terhadap hal tersebut. Bilapun aku
katakan kepada kalian bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut dan Allah ‘Azza wa
jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari perbuatan tersebut, kalian juga tidak
akan percaya terhadap hal itu. Jika saya mengaku kepada kalian dengan
suatu perkara sedang Allah ‘Azza Wa jalla Maha Mengetahui bahwa aku jauh dari
perbuatan tersebut, sungguh kalian akan mempercayaiku. Demi Allah, sungguh
tidak ada perkataan antara diriku dengan kalian kecuali sebagaimana yang
dikatakan oleh Abu Yusuf sebagaimana dalam Firman Allah :
فَصَبْرٌ
جَمِيلٌ ۖ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَىٰ مَا تَصِفُونَ
Maka kesabaran yang baik Itulah
kesabaranku dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa
yang kamu ceritakan.” (Yusuf : 18).
Dalam hadits di atas, keadaan tersebut
menjadikan Aisyah menahan diri untuk berbicara, kecuali ucapan yang mengandung
faedah.
Demikian juga di saat suatu perkataan itu
adalah tanpa ilmu, maka keadaan tersebut menahan seseorang untuk berbicara.
Diam di saat tersebut lebih baik, atau saatnya untuk diam.
Allah Ta’aala berfirman :
وَلَا تَقْفُ
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (al-Israa’ : 36 )
Dan firman Allah Ta’aala :
إِذْ
تَلَقَّوْنَهُ بِأَلْسِنَتِكُمْ وَتَقُولُونَ بِأَفْوَاهِكُم مَّا لَيْسَ لَكُم
بِهِ عِلْمٌ وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّنًا وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ
Dan ingatlah) di waktu kamu menerima berita
bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak
kamu ketahui sedikit juga, dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja.
padahal dia pada sisi Allah adalah besar. (An-Nuur : 15)
Dan Firman Allah Ta’aala :
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا ۖ قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ رَبِّي ۖ
لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ۚ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
ۚ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً ۗ يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا ۖ
قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِندَ اللَّهِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا
يَعْلَمُونَ
Mereka menanyakan kepadamu tentang
kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang
kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan
waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi
makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan
dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar
mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu
adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”. (Al-A’raaf : 187).
Saatnya untuk diam.
Selain dari pada itu masih banyak
keadaan-keadaan yang menuntut untuk kita menahan lisan, secara umum adalah di
saat kita dituntut untuk berbicara dan jelas kemashlahatannya maka di saat
tersebut, saatnya berbicara. Akan tetapi ketika kita tidak bisa berbicara yang
baik, maka ‘saatnya untuk diam’. Wallahu Ta’aala A’lam
bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar