Jumat, 30 Agustus 2013

FENOMENA GHULUW (MELAMPAUI BATAS) DALAM AGAMA




Sikap ghuluw (melampaui batas atau berlebih-berlebihan) dalam agama adalah sikap yang tercela dan dilarang oleh syariat. Sikap ini tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan. Terlebih lagi dalam urusan agama.

Banyak sekali dalil-dalil al-Qur'ân dan Sunnah yang memperingatkan dan mengharamkan ghuluw atau sikap melampaui batas tersebut.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulu (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". [al-Mâ`idah/5:77]

Dalam hadits yang diriwayatkan dari `Abdullah bin Abbâs Radhiyallahu anhu, dia berkata: "Pada pagi hari di Jumratul Aqabah ketika itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atas kendaraan, beliau berkata kepadaku: “Ambillah beberapa buah batu untukku!” Maka aku pun mengambil tujuh buah batu untuk beliau yang akan digunakan melontar jumrah. Kemudian beliau berkata:

أَمْثَالَ هَؤُلاَءِ فَارْمُوْا ثُمَّ قَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّينِ فَإِنَّهُ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ الْغُلُوُّ فِي الدِّينِ

“Lemparlah dengan batu seperti ini!” kemudian beliau melanjutkan:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah sikap ghuluw (melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya perkara yang membinasakan umat sebelum kalian adalah sikap ghuluw mereka dalam agama.”[1]

Ghuluw dalam agama itu sendiri adalah sikap dan perbuatan berlebih-lebihan melampaui apa yang dikehendaki oleh syariat, baik berupa keyakinan maupun perbuatan.[2]

BEBERAPA ISTILAH UNTUK SIKAP BERLEBIH-LEBIHAN DALAM AGAMA.
Ada beberapa ungkapan lain yang digunakan oleh syariat selain ghuluw ini, di antaranya:

1. Tanaththu’ (Sikap Ekstrem).
`Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu meriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda:

هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim!” Beliau mengucapkannya tiga kali.”[3]

2. Tasyaddud (Memberat-Beratkan Diri).
Anas bin Malik Radhiyallahu anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُشَدِّدُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَيُشَدِّدُ اللهُ عَلَيْكُمْ فَإِنَّ قَوْمًا شَدَّدُوْا عَلَى أَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهُ عَلَيْهِمْ فَتِلْكَ بَقَايَاُهْم فِي الصَّوَامِعِ وَالدِّيَارِ وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ

"Janganlah kamu memberat-beratkan dirimu sendiri, sehingga Allah Azza wa Jalla akan memberatkan dirimu. Sesungguhnya suatu kaum telah memberatkan diri mereka, lalu Allah Azza wa Jalla memberatkan mereka. Sisa-sisa mereka masih dapat kamu saksikan dalam biara-biara dan rumah-rumah peribadatan, mereka mengada-adakan rahbaniyyah (ketuhanan/kerahiban) padahal Kami tidak mewajibkannya atas mereka."[4]

Dalam hadits lain pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

إِنَّ الدِّيْنَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّيْنَ إِلاَّ غَلَبَهُ

"Sesungguhnya agama ini mudah. Dan tiada seseorang yang mencoba mempersulit diri dalam agama ini melainkan ia pasti kalah (gagal)."[5]

3. I’tidâ’ (Melampaui Ketentuan Syariat).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [al-Baqarah/2:190].

Dalam ayat lain Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا

“Itulah batasan-batasan hukum Allah, maka janganlah kalian melampauinya.” [al-Baqarah/2:187]

4. Takalluf (Memaksa-Maksa Diri).
Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُتَكَلِّفِينَ

“Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.” [Shâd/38:86]

Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu ia berkata, “Kami dilarang bersikap takalluf (memaksa-maksa diri).”[6]

SEBAB MUNCULNYA SIKAP GHULUW.
Sebab-sebab munculnya sikap ghuluw ini bermacam-macam, di antaranya:

1. Kebodohan dalam agama. Ini meliputi kebodohan terhadap tujuan inti syariat Islam dan kaidah-kaidahnya serta kebodohan dalam memahami nash-nash al-Qur'ân dan Sunnah. Sehingga kita lihat sebagian pemuda yang memiliki semangat akan tetapi masih dangkal pemahaman dan ilmunya terjebak dalam sikap ghuluw ini.

2. Taqlîd (ikut-ikutan). Taqlîd hakikatnya adalah kebodohan. Termasuk di antaranya adalah mengikuti secara membabi-buta adat istiadat manusia yang bertentangan dengan syariat Islam serta mengikuti tokoh-tokoh adat yang menyesatkan. Kebanyakan sikap ghuluw dalam agama yang berlaku di tengah-tengah masyarakat berpangkal dari sebab ini.

3. Mengikuti hawa nafsu. Timbangan hawa nafsu ini adalah akal dan perasaan. Sementara akal dan perasaan tanpa bimbingan wahyu akan bersifat liar dan keluar dari batasan-batasan syariat.

4. Berdalil dengan hadits-hadits lemah dan palsu. Hadits-hadits lemah dan palsu tidak bisa dijadikan sandaran hukum syar’i. Dan pada umumnya hadits-hadits tersebut dikarang dan dibuat-buat bertujuan menambah semangat beribadah atau untuk mempertebal sebuah keyakinan sesat.

BENTUK-BENTUK GHULUW.
Secara garis besar, ghuluw ada tiga macam: dalam keyakinan, perkataan dan amal perbuatan.

Ghuluw dalam bentuk keyakinan misalnya sikap berlebih-lebihan terhadap para malaikat, Nabi dan orang-orang shalih dengan meyakini mereka sebagai tuhan. Atau meyakini para wali dan orang-orang shalih sebagai orang-orang yang ma’shûm (bersih dari dosa). Contohnya adalah keyakinan orang-orang Syi’ah Rafidhah terhadap ahli bait dan keyakinan orang-orang sufi terhadap orang-orang yang mereka anggap wali.

Ghuluw dalam bentuk ucapan misalnya, puji-pujian yang berlebih-lebihan terhadap seseorang, doa-doa dan dzikir-dzikir bid’ah, misalnya puji-pujian kaum sufi terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan wali-wali mereka; demikian pula dzikir-dzikir mereka yang keluar dari ketentuan syariat. Contoh lainnya adalah menambah-nambahi doa dan dzikir, misalnya menambah kata sayyidina dalam salawat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ghuluw dalam bentuk amal perbuatan misalnya mengikuti was-was dalam bersuci atau ketika hendak bertakbîratulihrâm; sehingga kita dapati seseorang berulang-ulang berwudhu’ karena mengikuti waswas. Demikian seseorang yang berulang-ulang bertakbîratul ihrâm karena anggapan belum sesuai dengan niatnya.

Sebenarnya, ada satu jenis ghuluw lagi yang perlu diwaspadai yaitu ghuluw dalam semangat. Jenis ini biasanya merasuki para pemuda yang memiliki semangat keagamaan yang berlebih-lebihan akan tetapi dangkal pemahaman agamanya. Sehingga mereka jatuh dalam sikap sembrono dalam menjatuhkan vonis kafir, fasiq dan bid’ah.

VIRUS GHULUW.
Virus ghuluw ini biasanya diawali dengan sesuatu yang sepele namun dalam waktu singkat akan digandrungi sehingga kemudian meluas. Orang-orang yang bersikap ghuluw dalam agama akan berbicara tentang Allah Azza wa Jalla tanpa haq, tentang agama tanpa ilmu, sehingga akhirnya mereka sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan yang lurus. Sikap ghuluw inilah yang merupakan penyebab munculnya seluruh penyimpangan dalam agama, demikian juga penyimpangan dalam sikap dan perbuatan.

Islam telah menentang semua perkara yang mengarah kepada sikap ghuluw. Semoga Allah Azza wa Jalla merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah yang berkata: “Agama Allah Azza wa Jalla adalah agama pertengahan, antara sikap ekstrim (berlebih-lebihan) dan sikap moderat (terlalu longgar).”

Ibnu Hajar rahimahullah menukil perkataan Ibnul Munîr sebagai berikut:“Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita semua sama-sama menyaksikan bahwa setiap orang yang melewati batas dalam agama pasti akan terputus. Maksudnya bukanlah tidak boleh mengejar ibadah yang lebih sempurna, sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji. Perkara yang dilarang di sini adalah berlebih-lebihan yang membuat jemu atau melewati batas dalam mengerjakan amalan sunat hingga berakibat terbengkalainya perkara yang lebih afdhal. Atau mengulur kewajiban hingga keluar waktu. Misalnya orang yang shalat tahajjud semalam suntuk lalu tertidur sampai akhir malam, sehingga terluput shalat Subuh berjama'ah, atau sampai keluar dari waktu yang afdhal atau sampai terbit matahari sehingga keluar dari batasan waktunya."

Dalam hadits Mihzan bin al-Adra' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan:

إِنَّكُمْ لَنْ تَنَالُوْا هَذَا الأَمْرَ بِالمُغَالَبَةِ، وَخَيْرَ دِيْنِكُمْ اليُسْرَةُ

Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah."

Pernah ada tiga orang yang ingin mengetahui aktifitas ibadah n Nabi di rumah. Mereka tidak bertemu dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka bertanya kepada 'Aisyah z tentang ibadah beliau. Setelah diberitahukan, mereka merasa ibadah beliau n itu hanya sedikit. Mereka berkata: "Dimanakah kedudukan kami dibanding dengan Nabi!? Padahal telah diampuni dosa-dosa beliau yang lalu maupun yang akan datang."
Maka salah seorang dari mereka berkata: "Aku akan shalat malam terus menerus tidak akan tidur."
Yang lain berkata: "Aku akan puasa terus menerus tanpa berbuka."
Dan yang lain berkata: "Aku tidak akan menikah selama-lamanya."

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka seraya mengatakan:

أَنْتُمُ الَّذِيْنَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا؟ أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْشَاكُمْ للهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُوْمُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ؛ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

"Kaliankah yang mengatakan begini dan begini?! Adapun diriku, demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa aku juga berbuka, aku shalat dan aku juga tidur serta aku menikahi wanita! Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan termasuk golonganku."[7]

Dalam kesempatan lain Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَتَنَزَّهُوْنَ عَنْ الشَّيءِ أَصْنَعُهُ فَوَاللهِ إِنِّي لأَعْلَمُهُمْ بِاللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً

“Bagaimana halnya kaum-kaum yang menjauhkan diri dari sesuatu yang kulakukan? Demi Allah Azza wa Jalla , aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah Azza wa Jalla dan yang paling takut kepada-Nya.”[8]

Dalam menjelaskan hadits ini ad-Dawudi berkata: "Menjauhkan diri (dengan anggapan hal itu lebih baik-pent) dari dispensasi yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan dosa besar. Sebab ia memandang dirinya lebih bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla daripada rasul-Nya. Ini jelas sebuah penyimpangan.” Ibnu Hajar t menambahkanm, “Tidak diragukan lagi kesesatan orang yang meyakini demikian (meyakini bahwa hal itu lebih baik)."[9]

MENJAUHI GHULUW BUKAN BERARTI JATUH DALAM TAQSHIR (MELONGGAR-LONGGARKAN DIRI).
Akan tetapi perlu juga kita waspadai, bahwa dalam menjauhi sikap ghuluw ini kita juga jangan sampai terjebak ke dalam sikap taqshîr (melalai-lalaikan dan melonggar-longgarkan diri).

Ini merupakan tipu daya setan yang luar biasa. Setan selalu mencari titik lemah seorang insan. Apabila titik lemahnya pada sikap ghuluw maka setanpun masuk melalui pintu ghuluw dan apabila titik lemahnya pada sikap taqshîr maka setanpun masuk melalui pintu taqshîr. Memang, mempertahankan diri di tengah-tengah antara sikap ghuluw dan sikap taqshîr merupaka suatu perkara yang sulit. Kesuksesan, kebahagiaan dan keberhasilan dalam urusan akhirat maupun dunia tergantung dengan cara kita menempatkan segala sesuatu secara proporsional menurut pandangan syariat yang hanîf dan fitrah ini. Karena setiap ketidakseimbangan akan menyebabkan ketimpangan dan keberatan yang akan menghalangi tercapainya tujuan.

Dalam hal ini setan akan melihat dari pintu manakah ia mungkin masuk. Jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah potensi rendah diri dan gampang menyerah, maka setanpun menanamkan rasa malas dalam dirinya, mengendorkan semangatnya, menggambarkan berat amal-amal ketaatan dan mendorongnya untuk mudah mengabaikan kewajiban, sampai akhirnya ia meninggalkan kewajiban itu sama sekali.

Namun jika setan melihat bahwa yang lebih dominan pada diri seseorang adalah semangatnya yang menggebu-gebu, mulailah setan menanamkan anggapan bahwa apa yang diperintahkan itu baru sedikit dan belum cukup untuk mengimbangi semangatnya, sehingga ia serasa membutuhkan sesuatu yang baru sebagai tambahannya.[10]

JANGAN SALAH MENILAI GHULUW
Sebagaimana halnya kita tidak boleh terjebak dalam sikap taqshîr karena menghindari ghuluw, demikian pula kita jangan salah menilai ‘ghuluw’. Sebagian orang menilai keteguhan memegang syariat dan istiqamah di atasnya merupakan sikap ghuluw. Sebagai dampaknya, mereka menganggap pengamalan sebagian sunnah Nabi sebagai sikap ghuluw. Ini jelas salah besar. Memang kita membenci sikap ghuluw, namun hendaknya kita jangan salah menilai. Sebagian orang beranggapan memelihara jenggot, memakai cadar, mengenakan pakaian sampai setengah betis, memakai gamis bahkan shalat lima waktu berjama’ah di masjid pun dianggap ghuluw. Ini tentu penilaian yang salah. Sebab, seluruh perkara-perkara tersebut adalah sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamyang dianjurkan bahkan ada yang wajib. Penilaian yang salah ini bisa berakibat fatal, yaitu perkara-perkara sunnah dianggap sebagai perkara bid’ah, dan sebaliknya perkara bid’ah dianggap sunnah. Hakikat ghuluw adalah sesuatu yang melangkahi ketentuan syariat. Penilaian tersebut didasari atas kebodohan dalam memahami apa itu ghuluw dan juga kejahilan terhadap sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita tidak boleh menilai sesuatu tanpa ilmu. Dan berbicara tentang agama Allah Azza wa Jalla tanpa ilmu merupakan salah satu langkah setan, bahkan tergolong dosa besar. Allah Azza wa Jalla berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui."[al-A’râf/7:33]

Apalagi terkadang tuduhan ghuluw terhadap perkara-perkara sunnah ini mengandung ejekan dan olokan terhadap para pengamalnya. Ini jelas kesalahan di atas kesalahan. Takutlah kepada Allah Azza wa Jalla pada hari seluruh kesalahan akan ditampakkan. Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.[al-Hujurat/49:11]

KIAT-KIAT MENGHINDARI GHULUW.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh untuk menghindari fenomena ghuluw dalam agama, diantaranya:

1. Menuntut ilmu syar’i.
Ilmu adalah lentera yang menerangi langkah kita di dunia dan menjadi asset yang amat bernilai di akhirat. Apabila lentera ini padam, maka setan akan leluasa menyesatkan anak Adam. Maka dari itu janganlah absen dari majelis-majelis ilmu. Banyak sekali faidah yang dapat kita petik dari majelis ilmu. Di antaranya adalah kita dapat bertatap muka secara langsung dengan ahli ilmu.

2. Jangan malu dan segan bertanya kepada ahli ilmu (Ulama).
Malu bertanya sesat di jalan, begitulah kata pepatah kita. Terlebih lagi dalam urusan agama. Janganlah kita malu bertanya kepada ulama dalam perkara-perkara agama yang belum kita ketahui, baik dalam perkara aqidah, ibadah, mu’amalah dan lainnya. Terlebih lagi perkara yang berkaitan dengan perincian dalam agama, misalnya prosedur pelaksanaan sebuah ibadah, perincian dalam hal aqidah dan lain sebagainya.

Kesimpulannya, kita harus menjauhi segala macam bentuk ghuluw dalam agama, baik berupa keyakinan, ucapan maupun perbuatan yang diatas-namakan agama. Dan hendaknya kita juga harus waspada jangan sampai tergelincir dalam sikap taqshîr. Di samping itu, janganlah sembrono dan serampangan dalam menilai ‘ghuluw’ tanpa ilmu.

Referensi:
1. Tafsîrul-Qur'ân al-Azhîm, Ibnu Katsîr.
2. Fathul Bâri Syarah Shahîh al-Bukhâri.
3. Mawâridul Amân al-Muntaqâ min Ighâtsatil Lahfân, Ali Hasan Ali `Abdil Hamîd.
4. Iqtidhâ’ Shirâtul Mustaqîm, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5. Bahjatun Nâzhirîn Syarah Riyâdhus Shâlihîn, Salim bin ‘Ied al-Hilâli.
6. Mausu’ah Manâhi Syar’iyyah, Salim bin ‘Ied al-Hilâli.
7. Madârijus Sâlikîn, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.
8. Mu’jamu Maqâyisil Lughah.
9. Muqaddimah Shahîh Fiqh Sunnah.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahîh, diriwayatkan oleh an-Nasâ'i (V/268), Ibnu Mâjah (3029) dan Ahmad (I/215), al-Hâkim mengatakan: “Shahîh, sesuai dengan syarat al-Bukhâri dan Muslim.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.
[2]. Mu’jamul Maqâyis IV/388.
[3]. Hadits riwayat Muslim (2670).
[4]. Hadits riwayat Abu Dâwud dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah (3124).
[5]. Hadits riwayat al-Bukhâri.
[6]. Fathul Bâri (XIII/263-265)
[7]. Muttafaqun ‘alaihi.
[8]. Muttafaqun ‘alaihi.
[9]. Silakan lihat kitab Fathul Bâri tulisan Ibnu Hajar t .
[10]. Silakan lihat kitab Mawâridul Amân tulisan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid halaman 187.

Akibat Perbuatan Ghuluw dan Bid'ah


hadits
"Sesungguhnya sekelompok orang akan membaca al-Qur’an,
(tetapi) tidak melewati tenggorokan mereka,
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah."
Hadits di atas dikeluarkan oleh ad-Darimi (I/68-69) dan Bahsyal di dalam Tarikh Wasith (hal:198-tahqiq ‘Awwad) dari dua jalan dari ‘Umar bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah al-Hamdani yang berkata:
“Bapakku telah bercerita kepadaku”, dia berkata:
“Bapakku telah bercerita kepadaku”, dia berkata:
“Kami sedang duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat subuh, apabila dia telah keluar kami akan berjalan bersamanya menuju masjid. Kemudian Abu Musa al-Asy’ari datang kepada kami, lalu dia berkata:
“Apakah Abu ‘Abdurrahman (‘Abdullah bin Mas’ud -pent) telah keluar?”
Kami menjawab:
“Belum”.
Maka diapun duduk bersama kami sampai ‘Abdullah bin Mas’ud keluar. Tatkala dia telah keluar, kami semua berdiri ke arahnya, kemudian Abu Musa berkata kepadanya:
“Wahai Abu ‘Abdurrahman, sesungguhnya tadi di masjid aku telah melihat suatu perkara yang aku mengingkarinya, tetapi aku tidak berpendapat -alhamdulillah- kecuali kebaikan.”
‘Abdullah bin Mas’ud bertanya:
“Apa itu?”.
Abu Musa menjawab:
“Jika engkau berumur panjang, maka engkau akan melihatnya.”
Abu Musa berkata lagi:
“Di masjid aku telah melihat sekelompok orang dalam keadaan duduk berhalqah-halqah (berkelompok-kelompok, setiap kelompok duduk melingkar), mereka menantikan shalat. Pada setiap halqah (kelompok yang duduk melingkar) ada seorang laki-laki. Dan di tangan mereka ada batu-batu kerikil, kemudian laki-laki tadi berkata: “Bertakbirlah seratus kali!”, maka merekapun bertakbir seratus kali. Kemudian laki-laki tadi berkata lagi: “Bertahlillah seratus kali!”, maka merekapun bertahlil seratus kali. Kemudian laki-laki tadi berkata lagi: “Bertasbihlah seratus kali!”, maka merekapun bertasbih seratus kali."
‘Abdullah bin Mas’ud bertanya:
“Kemudian apa yang telah engkau katakan kepada mereka?”.
Abu Musa menjawab:
“Aku tidak mengatakan kepada mereka sesuatupun karena menanti pendapatmu.”
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Apakah engkau tidak memerintahkan mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan engkau memberikan jaminan untuk mereka bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan disia-siakan sedikitpun?”.
Kemudian ‘Abdullah bin Mas’ud berjalan, dan kamipun berjalan bersamanya. Sampai dia mendatangi satu halqah di antara halqah-halqah itu dan melihat mereka, lalu berkata:
“Apakah ini, yang aku melihat kamu sedang melakukannya?”
Mereka menjawab:
“Wahai Abu ‘Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kerikil yang dengannya kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih”.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Hitung saja kesalahan-kesalahanmu, aku menjamin bahwa kebaikan-kebaikanmu tidak akan disia-siakan sedikitpun. Kasihan kamu hai umat Muhammad! alangkah cepatnya kebinasaanmu! Mereka ini, para sahabat Nabi masih banyak, dan pakaian-pakaian beliau belum usang, dan bejana-bejana beliau belum retak. Demi (Allâh) Yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya kamu berada di atas satu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad, atau kamu orang-orang yang membuka pintu kesesatan?!”.
Mereka menjawab:
“Demi Allah hai Abu ‘Abdurrahman! kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”.
‘Abdullah bin Mas’ud berkata:
“Alangkah banyaknya orang yang menghendaki kebaikan (tetapi) tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah menceritakan kepada kami: (kemudian dia menyebutkan hadits di atas). Demi Allah aku tidak tahu, kemungkinan kebanyakan mereka adalah dari kamu!”.
Kemudian dia berpaling dari mereka.
‘Amr bin Salamah berkata:
“Kemudian kami melihat kebanyakan orang-orang pada halqah-halqah itu bersama Khawarij memerangi kami pada peperangan Nahrawan.”
Aku (Syeikh al-Albani rahimahullâh) berkata:
“Rangkaian (nash) tersebut adalah menurut riwayat ad-Darimi dan itu yang lebih lengkap, tetapi di dalam matan hadits (teks hadits) tidak ada kalimat:
hadits
mereka menembus dan keluar dari Islam
sebagaimana anak panah menembus
dan keluar dari binatang buruan yang dipanah

Dan ini isnadnya shahih, tetapi perkataan “‘Umar bin Yahya” aku menyangka merupakan kesalahan dari para penyalin yang menulis naskah. Yang benar adalah “‘Amr bin Yahya”, dia adalah ‘Amr bin Yahya bin ‘Amr bin Salamah bin al-Harits al-Hamdani.[1]
Demikian dibawakan oleh Ibnu Abi Hatim di dalam kitabnya al-Jarh wat-Ta’dil (III/1/269), dan dia menyebutkan sekelompok orang-orang terpercaya di kalangan para perawi yang meriwayatkan dari ‘Amr bin Yahya, di antara mereka adalah Ibnu ‘Uyainah. Dan dia meriwayatkan dari Ibnu Ma’in yang berkata tentang ‘Amr bin Yahya: “Shalih”.
Dan demikian pula Ibnu Abi Hatim menyebutkan dengan benar di kalangan para perawi dari bapaknya, dia berkata (di dalam III/2/176):
“Yahya bin ‘Amr bin Salamah al-Hamdani, ada yang mengatakan al-Kindi. Dia meriwayatkan dari bapaknya, (perawi) yang meriwayatkan darinya adalah Syu’bah, ats-Tsauri, al-Mas’udi, Qais bin ar-Rabi’ dan anaknya (yaitu) ‘Amr bin Yahya.”
Tetapi Ibnu Abi Hatim tidak menyebutkan celaan dan pujian, tetapi pujian terhadapnya cukup dengan periwayatan Syu’bah darinya, karena sesungguhnya Syu’bah menyaring orang-orang yang dia meriwayatkan dari mereka, sebagaimana hal itu disebutkan di dalam biografinya. Dan kemungkinan dia disebutkan di dalam kitab ats-Tsiqat (orang-orang terpercaya) karya Ibnu Hibban, karena al-’Ajali juga telah memasukkannya di dalam kitab Tsiqatnya dan berkata:
“Seorang dari Kufah, terpercaya”.
Adapun ‘Amr bin Salamah, maka dia seorang yang terpercaya, biografinya ada di dalam kitab at-Tahdzib, dinyatakan terpercaya oleh Ibnu Sa’d dan Ibnu Hibban (V/172), tetapi terlewatkan darinya bahwa al-’Ajali berkata di dalam kitab Tsiqatnya (364/1263):
“Seorang dari Kufah, seorang Tabi’i, terpercaya”.
Aku dahulu menyebutkan di dalam (kitabku) ar-Radd ‘alasy Syeikh al-Habasyi hal:45 bahwa Tabi’in dalam kisah ini adalah ‘Ammarah bin Abi Hasan al-Mazini, tetapi itu kekeliruan yang tidak perlu dijelaskan sebabnya, maka hendaklah itu dibenarkan. Dan hadits ini mempunyai jalan lain dari Ibnu Mas’ud di dalam kitab Musnad (I/404), di dalamnya ada tambahan, dan isnadnya bagus. Dan telah datang pula di dalam hadits sekelompok sahabat yang diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahihnya (III/109-117).
Aku memberikan perhatian dengan mentakhrij (menyebutkan Ahli Hadits yang meriwayatkan) dari jalan ini hanyalah karena ada kisah Ibnu Mas’ud dengan orang-orang yang mengadakan halqah-halqah. Karena sesungguhnya di dalam kisah itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang selalu mengamalkan thariqah-thariqah dan halqah-halqah dzikir yang menyelisihi sunnah.
Karena sesungguhnya apabila yang ada pada mereka itu diingkari oleh orang yang mengingkari, mereka akan menuduhnya telah mengingkari dzikir dari dasarnya! Padahal mengingkari dzikir dari dasarnya adalah suatu kekafiran yang seorang muslim tidak akan terjatuh ke dalamnya (tidak mungkin melakukannya -pent) di dunia ini.
Padahal yang diingkari hanyalah apa-apa yang ditambahkan pada dzikir yang berupa tata-cara dan perkumpulan-perkumpulan yang tidak disyari’atkan di zaman Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam. Kalau bukan itu maka apakah yang diingkari oleh Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu terhadap orang- orang di halqah-halqah itu? Tidak lain kecuali bentuk berkumpul pada hari tertentu dan dzikir dengan jumlah yang tidak ada (dalilnya), tetapi hal itu semata-mata batasan yang dibuat oleh Syeikh yang mengadakan halqah, dan hal itu dia perintahkan kepada mereka dari dirinya sendiri, seolah-olah dia adalah pembuat syari’at dari Allâh Ta’ala! (Padahal Allâh berfirman:-pent)
hadits
Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allâh
yang mensyari’atkan agama untuk mereka yang tidak diizinkan oleh Allâh?
(Qs. Asy-Syurâ/26: 21)

Selain itu terlebih lagi bahwa sunnah yang pasti/shahih dari beliau shallallâhu 'alaihi wasallam yang berupa perbuatan dan perkataan, tasbih itu hanyalah dengan ujung-ujung jari, sebagaimana hal itu telah diterangkan di dalam kitab ar-Radd ‘ala al-Habasyi dan lainnya.
Dan di antara faedah-faedah yang bisa diambil dari hadits dan kisah ini adalah bahwa yang prinsip bukanlah banyaknya ibadah, tetapi adalah ibadah itu haruslah di atas (sesuai dengan) sunnah, jauh dari bid’ah. Dan hal itu juga telah diisyaratkan juga oleh Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu dengan perkataannya:
perkataan ibnu mas'ud
Sederhana di dalam sunnah lebih baik daripada
bersungguh-sungguh di dalam bid’ah.

Dan di antaranya (faedah-faedah itu) adalah bahwa bid’ah yang kecil menghantarkan kepada bid’ah yang besar. Tidakkah engkau lihat bahwa orang-orang yang mengikuti halqah-halqah itu kemudian mereka menjadi bagian (firqah) Khawarij yang diperangi oleh Khalifah ar-Rasyid (Khalifah yang lurus) Ali bin Abi Thalib? Maka adakah orang yang mengambil pelajaran?!
Sekian terjemahan dari Syeikh al-Albani rahimahullâh, kemudian kami sambung dengan tulisan Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali hafizhahullâh (beliau murid Syeikh al-Albani rahimahullâh) tentang faedah-faedah hadits ini dari kitab beliau al-Bid’ah wa Atsaruha as- Sayyi’ fil Ummah hal:15-20 - pent).
Aku (Syeikh Salim al-Hilali) berkata:
“Atsar (riwayat) yang agung ini memuat prinsip-prinsip yang besar, yang hal itu tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang berittiba’, yaitu orang-orang yang tidak mendahului Allâh dan Rasul-Nya, dan ucapan mereka adalah sami’na wa atha’na (kami mendengar dan taat).
1. Allâh yang telah men syari’atkan tujuan tidak melupakan sarana.
 
Tatkala Allâh mensyari’at kan dzikir, Dia tidak melupakan sarananya. Sesungguhnya kebiasaan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam menghitung tasbih dengan tangan kanannya, dan beliau bersabda bahwa sesungguhnya tangan-tangan itu akan diminta untuk berbicara.
2. Bid’ah idhafiyah adalah sesat.
 
Yaitu bid’ah yang bersandar pada dalil dari sisi asal, tetapi tidak bersandar (pada dalil) dari sisi kaif/kaifiyah (keadaan; cara) dan shifat (bentuk; sifat; keterangan; tanda), sehingga dinamakan idhafiyah karena tidak murni pada salah satu dari dua sisi: penyelisihan yang nyata atau kesesuaian yang benar.
Orang-orang tersebut tidak mengucapkan kekafiran, dan tidak melakukan perbuatan yang asing, bahkan mereka berdzikir kepada Allâh yang hal itu perkara yang disyari’atkan berdasarkan nash. Tetapi mereka menyelisihi kaifiyah dan shifat yang telah dijalani oleh Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam , sehingga para sahabat mengingkari mereka dan memerintahkan supaya mereka menghitung kesalahan-kesalahan mereka.
3.
Allâh Ta'âla tidak diibadahi kecuali dengan apa yang telah Dia syari’atkan, tidak diibadahi dengan hawa-nafsu, kebiasaan dan bid’ah.
4. Bid’ah mematikan sunnah
 
Sekelompok orang dari mubtadi’in (Ahli Bid’ah) itu menciptakan shifat dzikir yang tidak diriwayatkan dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam sehingga mereka mematikan petunjuk Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam. Prinsip ini telah difahami oleh Salafush Shalih, dan mereka mengetahui secara yakin bahwa sunnah dan bid’ah tidak akan berkumpul. Seorang Tabi’in yang agung (yaitu) Hasan bin ‘Athiyah rahimahullâh berkata:
perkataan Hasan bin ‘Athiyah
Tidaklah suatu kaum membuat bid’ah di dalam agama mereka,
kecuali dicabut dari sunnah mereka yang semisal dengannya”.
(Riwayat ad-Darimi dengan sanad yang shahih)

5.
Bid’ah adalah penyebab kebinasaan, karena ia menyeret untuk meninggalkan sunnah dan yang demikian adalah kesesatan yang jauh.
Seorang sahabat (yaitu) ‘Abdulah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata:
perkataan ‘Abdulah bin Mas’ud
Seandainya kamu meninggalkan sunnah Nabimu,
pastilah kamu sesat.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)

Dan apabila umat telah sesat niscaya ia binasa karenanya. Oleh karena itulah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu berkata kepada halqah-halqah itu:
perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud
Hai umat Muhammad,
alangkah cepatnya kebinasaan kamu.

Pemahaman ‘Abdullah bin Mas’ud ini mempunyai pelajaran yang khusus yang nampak dari rangkaian riwayat, (dimana) Abu Musa al-Asy’ari radhiyallâhu'anhu tidak mengingkari mereka karena menunggu pendapat atau perintah ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu.
Tetapi sikap Ibnu Ummu ‘Abd (‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu) tersebut bukanlah pilih kasih atau basa-basi, bahkan ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallâhu'anhu ridha untuk dirinya terhadap apa yang hal itu diridhai oleh Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam untuk diri beliau dan untuk umatnya.
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda:
hadits
"Aku ridha untuk umatku
apa yang telah diridhai oleh Ibnu Ummu ‘Abd
(‘Abdullah bin Mas’ud)."
(HR. al-Hakim dan lainnya dan dishahihkan oleh al-Albani
di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no:1225,
ad-Darus Salafiyah-Kuwait)
6. Bid’ah menghantarkan kepada kekafiran.
Karena seorang mubtadi’ (Ahli Bid’ah) mengangkat dirinya sebagai pembuat syari’at dan tandingan bagi Allâh, sehingga dia mengkoreksi terhadap Ahkamul Hakimin (Allâh), dan dia menyangka bahwa dia berada di atas satu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallâhu 'alaihi wasallam.
7.
Bid’ah membuka dua daun pintu perselisihan.
Dan itu adalah pintu kesesatan. Barangsiapa yang membuat sunnah (tata-cara/jalan/kebiasaan) yang buruk di dalam Islam maka dia mendapatkan dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat, tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun. Karena orang yang menunjukkan kepada keburukan sekedudukan dengan pelakunya.
8.
Menganggap kecil urusan bid’ah akan menyeret kepada kefasikan dan kemaksiatan.
Tidakkah engkau lihat rombongan itu terjerumus ke dalam barisan Khawarij pada peperangan Nahrawan, mereka memerangi para sahabat radhiyallâhu'anhum yang dipimpin oleh Ali radhiyallâhu'anhu, dan beliau berhasil menghancurkan mereka ke akar-akarnya pada peperangan itu.
Salah seorang ulama’ muslimin yang utama yaitu al-Hasan bin ‘Ali al-Barbahari (termasuk di antara pengikut imam Ahlu Sunnah Ahmad bin Hambal rahimahullâh) berkata:
“Berhati-hatilah engkau dari perkara-perkara kecil yang baru (dalam agama), karena sesungguhnya bid’ah-bid’ah yang kecil akan berulang sampai menjadi besar. Demikian pula setiap bid’ah yang diada--adakan di umat ini, dahulu permulaannya kecil, yang menyerupai kebenaran sehingga orang yang masuk ke dalamnya terpedaya dengan nya, kemudian dia tidak mampu untuk keluar darinya. Sehingga bid’ah itu menjadi besar, dan menjadi agama yang dianut. Maka dia (orang yang masuk tersebut) menyelisihi jalan yang lurus kemudian keluar dari Islam.
Maka perhatikan -mudah-mudahan engkau dirahmati Allâh- setiap orang yang engkau dengar perkataannya dari orang-orang di zamanmu khususnya. Janganlah engkau terburu-buru dan janganlah engkau memasuki sesuatu darinya sampai engkau bertanya dan melihat: apakah ada seseorang dari kalangan sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam atau salah seorang dari para ulama’ yang membicarakannya?
Jika dalam hal itu engkau mendapati riwayat dari mereka (para sahabat Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam), maka pegangilah dan janganlah engkau meninggalkannya karena sesuatu, dan janganlah engkau memilih sesuatu yang lain yang mengakibatkan engkau terjerumus ke dalam neraka.” (Thabaqat al-Hanabilah, al-Qadhi Muhammad bin Abu Ya’la II/18-19, Darul Ma’rifah Beirut).
9.
Amalan-amalan yang shalih (tergantung) dengan niat yang shalih.
Dan niat yang baik tidak akan menjadikan yang batil manjadi haq, karena niat semata tidak cukup untuk menjadikan perbuatan menjadi benar. Tetapi niat yang baik haruslah ditambah dengan mengikuti syari’at.[2]
10.
Apa yang ditambahkan pada suatu kebaikan bukanlah kebaikan.
Karena sesungguhnya apa yang ditambahkan pada suatu kebaikan adalah keburukan. Perkara ini bisa disaksikan dalam segala hal, karena sesungguhnya suatu perkara itu apabila melebihi batasnya, ia akan berubah menjadi kebalikannya.
Keberanian apabila melebihi batasnya akan menjadi serampangan, apabila berkurang akan menjadi pengecut. Kedermawanan apabila melebihi batasnya akan menjadi boros, apabila berkurang akan menjadi bakhil dan pelit. Kalau begitu, maka sebaik-baik urusan adalah tengah-tengahnya.
‘Abdullah bin Mas’ud bukanlah sahabat yang pertama kali mengingkari bid’ah-bid’ah. ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallâhu'anhu termasuk sahabat yang keras mengingkari bid’ah-bid’ah dan meng-hajr (memboikot) para Ahli Bid’ah. Suatu ketika ‘Abdullah bin Umar mendengar seorang laki-laki bersin kemudian dia mengucapkan “alhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah”, maka ‘Abdullah bin Umar berkata kepadanya:
“Tidak begitu Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah mengajari kami, tetapi beliau bersabda:
hadits
Apabila salah seorang dari kalian bersin,
maka hendaklah dia memuji Allâh (mengucap kan al-hamdulillah)
Dan beliau tidak bersabda:
“dan hendaklah dia mengucapkan shalawat untuk Rasulullah”.
(HR. at-Tirmidzi dan al-Hakim)

Dari Salim yang berkata:
“Sesungguhnya aku sedang duduk bersama Ibnu Umar radhiyallâhu'anhu di dalam masjid, tiba-tiba datang kepadanya seorang laki-laki dari penduduk Syam. Kemudian laki-laki tadi bertanya kepadanya tentang bertamattu’ menjalankan ‘umrah sampai haji? (Yaitu berniat melakukan umrah dengan cara thawaf lalu sa’i kemudian tahallul. Dari sini dia bebas dari larangan-larangan haji. Kemudian pada tanggal 8 dzulhijjah dia berniat untuk hajji lalu pergi ke Arafah).
Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Bagus, baik”.
Kemudian laki-laki tersebut berkata:
“Tetapi jika bapakmu melarangnya”.
Maka Ibnu ‘Umar berkata:
“Celaka engkau, walaupun bapakku telah melarangnya, tetapi Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam telah melakukannya dan memerintahkannya. Maka engkau akan mengambil perkataan bapakku atau perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam ?!”.
Dia menjawab:
“Perintah Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam “.
Kemudian Ibnu ‘Umar berkata:
“Pergilah dariku.”

(Diriwayatkan oleh ath-Thahawi di dalam Syarh Ma’ani al-Atsar dengan sanad yang shahih)

[*] Diterjemahkan oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah V/11-14 karya Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullâh, hadits no:2005
[1] Dahulu aku menyangka dia adalah ‘Amr bin ‘Ammarah bin Abi Hasan al- Mazini, tetapi kemudian menjadi jelas bagiku bahwa itu adalah kesalahan yang aku telah ruju’ darinya
[2] Lihat Madarijus Salikin, Ibnul Qayyim al-Jauziyah I/85, Darul Kitab al-’Arabi-Beirut

Adab Majelis Ilmu


Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda :

hadits
hadits
hadits
hadits

Tidaklah suatu kaum berkumpul di satu rumah Allâh,
mereka membacakan kitabullâh dan mempelajarinya,
kecuali turun kepada mereka ketenangan, dan rahmat menyelimuti mereka,
para malaikat mengelilingi mereka
dan Allâh memuji mereka di hadapan makhluk yang ada didekatnya.
Barangsiapa yang kurang amalannya, maka nasabnya tidak mengangkatnya.

TAKHRIJ HADITS
Hadits ini merupakan potongan dari hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu oleh :
  • Imam Muslim rahimahullâh, dalam Shahihnya, Kitab Adz Dzikir Wad Du’a, Bab Fadhlul Ijtima’ ‘Ala Tilawatil Qur’an Wa ‘Ala Dzikr, nomor 6793, juz 17/23. (Lihat Syarah An Nawawi).
  • Abu Daud rahimahullâh dalam Sunannya, Kitabul Adab, Bab Fil Ma’unah Lil Muslim nomor 4946.
  • Ibnu Majah rahimahullâh dalam Sunannya, Muqaddimah, Bab Fadhlul Ulama Wal Hatsu ‘Ala Thalabul Ilmi nomor 225.

BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADITS
Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu adalah salah seorang sahabat Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Nama lengkapnya Abdurrahman bin Shahr[1] Diberi gelar Abu Hurairah karena beliau menyukai seekor kucing yang dimilikinya. Meskipun baru masuk Islam pada tahun ke tujuh hijriah, akan tetapi keilmuannya diakui oleh banyak sahabat.
Selama tiga atau empat tahun bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam betul-betul dimanfaatkan oleh beliau. Senantiasa bersama Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam pada saat banyak para shahabat sibuk di pasar atau di tempat yang lain.
Lelaki yang berperangai lembut dengan kulit putih serta jenggot agak kemerahan ini, sangat gigih menggali ilmu dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam tanpa memperdulikan rasa lapar yang dialaminya. Sehingga tidaklah mengherankan apabila beliau banyak meriwayatkan hadits dari Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam.
Hadits dari Abu Hurairah radhiyallâhu'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh dan Imam Muslim rahimahullâh secara bersama sebanyak 326 hadits. Sedangkan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari rahimahullâh tanpa Imam Muslim rahimahullâh sebanyak 93 hadits dan diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullâh tanpa Imam Bukhari rahimahullâh 98 hadits.

MAKNA KOSA KATA HADITS
hadits
 
Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allâh, yaitu masjid. Sedangkan madrasah dan tempat-tempat lain yang mendapatkan keutamaan ini, juga dengan dasar hadits yang diriwayatkan Imam Muslim rahimahullâh dengan lafadz:

hadits

Tidaklah duduk suatu kaum berdzikir kepada Allâh,
kecuali para malaikat mengelilinginya, rahmat menyelimutinya
dan turun kepada mereka ketenangan,
serta Allâh memujinya di hadapan makhluk
yang berada di sisinya.

(Riwayat Muslim, no. 6795 dan Ahmad)
hadits
ketenangan
hadits
diselimuti rahmat Allâh
hadits
dikelilingi malaikat rahmah
hadits
Allâh memuji dan memberikan pahala di hadapan para malaikatNya.
hadits
siapa yang kurang amalannya tidak akan mencapai martabat orang yang beramal sempurna, walaupun memiliki nasab ulama.

FAIDAH HADITS
Pertama: Arti Penting Majelis Ilmu
Majelis ilmu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari para ulama rabbani. Bahkan mengadakan majelis ilmu merupakan perkara penting yang harus dilakukan oleh seorang ‘alim. Karena hal itu merupakan martabat tertinggi para ulama rabbani, sebagaimana firman Allâh Ta'âla :

(QS Ali Imran/3:79)

Tidak wajar bagi seseorang manusia
yang Allâh berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian,
lalu dia berkata kepada manusia,
”Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku
bukan penyembah Allâh”.
Akan tetapi (dia berkata),
”Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab
dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

(QS Ali Imran:79)

Hal inipun dilakukan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam. Beliau shallallâhu 'alaihi wasallam menganjurkan kita untuk menghadiri majelis ilmu dengan sabdanya :

hadits

Jika kalian melewati taman syurga maka berhentilah.
Mereka bertanya, ”Apakah taman syurga itu?”
Beliau menjawab, ”Halaqoh dzikir (majlis Ilmu)."

(Riwayat At Tirmidzi
dan dishahihkan Syeikh Salim bin Ied Al Hilali
dalam Shahih Kitabul Adzkar 4/4)

Demikian juga para salafush shalih sangat bersemangat mengadakan dan menghadirinya. Oleh karena itu kita dapatkan riwayat tentang majelis ilmu mereka. Di antaranya majelis Abdillâh bin Mas’ud di Kufah, Abu Hurairah di Madinah, Imam Malik di masjid Nabawi, Syu’bah bin Al Hajjaj, Yazid bin Harun, Imam Syafi’i, Imam Ahmad di Baghdad, Imam Bukhari dan yang lainnya.

Kedua: Faidah dan Keutamaan Majelis Ilmu.
Di antara faidah majelis ilmu ialah :
  • Mengamalkan perintah Allâh Ta'âla dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dan mencontoh jalan hidup para salafush shalih.
  • Mendapatkan ketenangan.
  • Mendapatkan rahmat Allâh Ta'âla .
  • Dipuji Allâh di hadapan para malaikat.
  • Mengambil satu jalan mendapatkan warisan para Rasul.
  • Mendapatkan ilmu dan adab dari seorang alim.

Ketiga. Adab Majelis Ilmu.
Perkara yang harus diperhatikan dan dilakukan agar dapat mengambil faidah dari majelis ilmu ialah :
  Ikhlas.
 
Hendaklah kepergian dan duduknya seorang penuntut ilmu ke majelis ilmu, hanya karena Allâh semata. Tanpa disertai riya’ dan keinginan dipuji orang lain. Seorang penuntut ilmu hendaklah bermujahadah dalam meluruskan niatnya. Karena ia akan mendapatkan kesulitan dan kelelahan dalam meluruskan niatnya tersebut. Oleh karena itu Imam Sufyan Ats Tsauri berkata:
“Saya tidak merasa susah dalam meluruskan sesuatu melebihi niat.”[2]
   
  Bersemangat menghadiri majelis ilmu
 
Kesungguhan dan semangat yang tinggi dalam menghadiri majelis ilmu tanpa mengenal lelah dan kebosanan sangat diperlukan sekali. Janganlah merasa cukup dengan menghitung banyaknya. Akan tetapi hitunglah berapa besar dan banyaknya kebodohan kita. Karena kebodohan sangat banyak, sedangkan ilmu yang kita miliki hanya sedikit sekali.
Lihatlah kesemangatan para ulama terdahulu dalam menghadiri majelis ilmu. Abul Abbas Tsa’lab rahimahullâh, seorang ulama nahwu berkomentar tentang Ibrahim Al Harbi rahimahullâh:

“Saya tidak pernah kehilangan Ibrahim Al Harbi dalam majelis pelajaran nahwu atau bahasa selama lima puluh tahun”.
Lantas apa yang diperoleh Ibrahim Al Harbi? Akhirnya beliau menjadi ulama besar dunia. Ingatlah, ilmu tidak didapatkan seperti harta waris. Akan tetapi dengan kesungguhan dan kesabaran.

Alangkah indahnya ungkapan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullâh :
“Ilmu adalah karunia yang diberikan Allâh kepada orang yang disukainya. Tidak ada seorangpun yang mendapatkannya karena keturunan. Seandainya didapat dengan keturunan, tentulah orang yang paling berhak ialah ahli bait Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam ”.
Demikian juga Imam Malik rahimahullâh, ketika melihat anaknya yang bernama Yahya keluar dari rumahnya bermain :
“Alhamdulillâh, Dzat yang tidak menjadikan ilmu ini seperti harta waris”.
Abul Hasan Al Karkhi rahimahullâh berkata :
“Saya hadir di majelis Abu Khazim pada hari Jum’at walaupun tidak ada pelajaran, agar tidak terputus kebiasanku menghadirinya”.
Lihatlah semangat mereka dalam mencari ilmu dan menghadiri majelis ilmu. Sampai akhirnya mereka mendapatkan hasil yang menakjubkan.
   
  Bersegera datang ke majelis ilmu dan tidak terlambat, bahkan harus mendahuluinya dari selainnya.
 
Seseorang bila terbiasa bersegera dalam menghadiri majelis ilmu, maka akan mendapatkan faidah yang sangat banyak. Sehingga Asysya’bi rahimahullâh ketika ditanya :
“Dari mana engkau mendapatkan ilmu ini semua?”
Beliau menjawab :
“Tidak bergantung kepada orang lain. Bepergian ke negeri-negeri dan sabar seperti sabarnya keledai, serta bersegera seperti bersegeranya elang”.[3]
   
 
Mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang ada di majelis ilmu yang tidak dapat dihadirinya.
 
Terkadang seseorang tidak dapat menghadiri satu majelis ilmu karena alasan tertentu, seperti sakit dan yang lainnya. Sehingga tidak dapat memahami pelajaran yang ada dalam majelis tersebut. Dalam keadaan seperti ini hendaklah ia mencari dan berusaha mendapatkan pelajaran yang terlewatkan itu. Karena sifat pelajaran itu seperti rangkaian. Jika hilang darinya satu bagian, maka dapat mengganggu yang lainnya.
   
  Mencatat faidah-faidah yang didapatkan dari kitab.
 
Mencatat faidah pelajaran dalam kitab tersebut atau dalam buku tulis khusus. Faidah-faidah ini akan bermanfaat jika dibaca ulang dan dicatat dalam mempersiapkan materi mengajar, ceramah dan menjawab permasalahan. Oleh karena itu sebagian ahli ilmu menasihati kita. Jika membeli sebuah buku, agar tidak memasukkannya ke perpustakaan, kecuali setelah melihat kitab secara umum. Caranya dengan mengenal penulis dan pokok bahasan yang terkandung dalam kitab dengan melihat daftar isi dan membaca (sesuai dengan kecukupan waktu) sebagian pokok bahasan kitab.
   
  Tenang dan tidak sibuk sendiri dalam majelis ilmu.
 
Ini termasuk adab yang penting dalam majelis ilmu. Imam Adz Dzahabi rahimahullâh menyampaikan kisah Ahmad bin Sinan, ketika beliau berkata :
“Tidak ada seorangpun yang bercakap-cakap di majelis Abdurrahman bin Mahdi. Suara pena tidak terdengar. Tidak ada yang bangkit, seakan-akan di kepala mereka ada burung atau seakan-akan mereka berada dalam shalat”.[4]
Dan dalam riwayat yang lain:
“Jika beliau melihat seseorang dari mereka tersenyum atau berbicara, maka dia mengenakan sandalnya dan keluar”.[5]
   
  Tidak boleh berputus asa.
 
Terkadang sebagian kita telah hadir di suatu majelis ilmu dalam waktu yang lama. Akan tetapi tidak dapat memahaminya kecuali sedikit sekali. Lalu timbul dalam diri kita perasaan putus asa dan tidak mau lagi duduk disana. Tentunya hal ini tidak boleh terjadi. Karena telah dimaklumi, bahwa akal dan kecerdasan setiap orang berbeda. Kecerdasan tersebut akan bertambah dan berkembang karena dibiasakan.
Semakin sering seseorang membiasakan dirinya, maka semakin kuat dan baik kemampuannya. Lihatlah kesabaran dan keteguhan para ulama dalam menuntut ilmu dan mencari jawaban satu permasalahan! Lihatlah apa yang dikatakan Syeikh Muhammad Al Amin Asy Syinqiti, “Ada satu masalah yang belum saya pahami. Lalu saya kembali ke rumah dan saya meneliti dan terus meneliti. Sedangkan pembantuku meletakkan lampu atau lilin di atas kepala saya. Saya terus meneliti dan minum teh hijau sampai lewat 3/4 hari, sampai terbit fajar hari itu”. Kemudian beliau berkata,“Lalu terpecahlah problem tersebut”. Lihatlah bagaimana beliau menghabiskan harinya dengan meneliti satu permasalahan yang belum jelas baginya.
   
  Jangan memotong pembicaraan guru atau penceramah
 
Termasuk adab yang harus diperhatikan dalam majelis ilmu yaitu tidak memotong pembicaraan guru atau penceramah. Karena hal itu termasuk adab yang jelek. Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada kita dengan sabdanya :

hadits
Tidak termasuk golongan kami
orang yang tidak menghormati yang lebih tua
dan menyayangi yang lebih muda
serta yang tidak mengerti hak ulama.

(Riwayat Ahmad dan dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Al Jami’)
Imam Bukhari rahimahullâh menulis di Shahihnya, orang yang ditanya satu ilmu dalam keadaan sibuk berbicara, hendaknya menyempurnakan pembicaraannya. Kemudian menyampaikan hadits:

hadits

Dari Abu Hurairah, beliau berkata,
“Ketika Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam
berada di majelis menasihati kaum,
datanglah seorang A’rabi dan bertanya :
”Kapan hari kiamat?”
(Tetapi) beliau terus saja berbicara sampai selesai.
Lalu (Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam) bertanya :
“Mana tampakkan kepadaku yang bertanya tentang hari kiamat?” Dia menjawab:
”Saya, wahai Rasûlullâh.”
Lalu beliau berkata:
“Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat”.
Dia bertanya lagi:
“Bagaimana menyia-nyiakannya?”
Beliau menjawab:
“Jika satu perkara diberikan kepada bukan ahlinya,
maka tunggulah hari kiamat”.

(Riwayat Bukhari)
Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits ini berpaling dan tidak memperhatikan penanya untuk mendidiknya.
   
  Beradab dalam bertanya
 
Bertanya adalah kunci ilmu. Juga diperintahkan Allâh Ta'âla dalam firmanNya:
(QS An Nahl/16 : 43)
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.

(QS An Nahl/16 : 43)
Demikian pula Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam mengajarkan, bahwa obat kebodohan yaitu dengan bertanya, sebagaimana sabda beliau:
hadits
Tidakkah mereka bertanya, ketika mereka tidak tahu?
Sesungguhnya obat ketidak mengertian adalah bertanya.

(Riwayat Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad dan Darimi
dan dishahihkan Syeikh Salim Al Hilali
dalam Tanqihul Ifadah Al Muntaqa Min Miftah Daris Sa’adah,
hal. 174)
Imam Ibnul Qayim rahimahullâh berkata:
”Ilmu memiliki enam martabat. Yang pertama, baik dalam bertanya …… Ada di antara manusia yang tidak mendapatkan ilmu, karena tidak baik dalam bertanya. Adakalanya, karena tidak bertanya langsung. Atau bertanya tentang sesuatu, padahal ada yang lebih penting. Seperti bertanya sesuatu yang tidak merugi jika tidak tahu dan meninggalkan sesuatu yang mesti dia ketahui.”[6]
Demikian juga Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh memberikan pernyataan:
”Sepatutnyalah rasa malu tidak menghalangi seseorang dari bertanya tentang kejadian yang dialaminya.”[7]
Oleh karena itu perlu dijelaskan beberapa adab yang harus diperhatikan dalam bertanya, diantaranya:
1.
Bertanya perkara yang tidak diketahuinya dengan tidak bermaksud menguji.
 
Hal ini dijadikan syarat oleh Allâh Ta'âla dalam firmanNya di atas (QS An Nahl/16 : 43).
Dalam ayat ini Allâh Ta'âla menyebutkan syarat dalam mengajukan pertanyaan adalah karena tidak tahu. Sehingga seseorang yang tidak tahu bertanya sampai diberi tahu. Namun demikian seseorang yang telah mengetahui suatu perkara diperbolehkan bertanya tentang perkara tersebut, dengan tujuan untuk memberikan pengajaran kepada orang yang ada di majelis tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Jibril'alaihissalam kepada Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam dalam hadits Jibril yang mashur.
   
2.
Tidak boleh menanyakan sesuatu yang tidak dibutuhkan, yang jawabannya dapat menyusahkan penanya atau menyebabkan kesulitan bagi kaum muslimin.
  Hal ini dinyatakan oleh Allâh Ta'âla dalam firman-Nya:
 
(QS Al Maidah/5 : 101)
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu
dan jika kamu menanyakan di waktu Al Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu.
Allâh mema’afkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allâh Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

(QS Al Maidah : 101)

Dan Rasûlullâh shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda:
hadits
Seorang Muslim yang paling besar dosanya adalah
orang yang bertanya sesuatu yang tidak diharamkan,
lalu diharamkan karena pertanyaannya.

(Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad)

Oleh karena itulah para sahabat dan tabi’in tidak suka bertanya tentang sesuatu kejadian sebelum terjadi.
Rabi’ bin Khaitsam rahimahullâh berkata:
“Wahai Abdullâh, apa yang Allâh berikan kepadamu dalam kitabnya (ilmu) maka syukurilah, dan yang Allâh tidak berikan kepadamu, maka serahkanlah kepada orang ‘alim dan jangan mengada-ada. Karena Allâh Ta'âla berfirman kepada NabiNya:
(QS Shad/38 : 86-88)
Katakanlah (hai Muhammad):
”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepadamu atas dakwahku;
dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.
Al Qur’an ini, tidak lain hanyalah peringatan bagi semesta alam.
Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui
(kebenaran) berita Al Qur’an setelah beberapa waktu lagi.
(QS Shâd : 86-88)[8]
   
3. Diperbolehkan bertanya kepada seorang ‘alim tentang dalil dan alasan pendapatnya.
 
Hal ini disampaikan Al Khathib Al Baghdadi rahimahullâh dalam Al Faqih Wal Mutafaqih 2/148:
“Jika seorang ‘alim menjawab satu permasalahan, maka boleh ditanya apakah jawabannya berdasarkan dalil ataukah pendapatnya semata”.
   
4. Diperbolehkan bertanya tentang ucapan seorang ‘alim yang belum jelas.
  Hal ini berdasarkan dalil hadits Ibnu Mas'ud radhiyallâhu'anhu, beliau berkata:
hadits
Saya shalat bersama Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam,
lalu beliau memanjangkan shalatnya
sampai saya berniat satu kejelekan.
Kami bertanya kepada Ibnu Mas’ud:
“Apa yang engkau niatkan?”
Beliau menjawab:
“Saya ingin duduk dan meninggalkannya”.

(Riwayat Bukhari dan Muslim)
   
5.
Jangan bertanya tentang sesuatu yang telah engkau ketahui jawabannya, untuk menunjukkan kehebatanmu dan melecehkan orang lain.

  Mengambil akhlak dan budi pekerti guru.
 
Tujuan hadir di majelis ilmu, bukan hanya terbatas pada faidah keilmuan semata. Ada hal lain yang juga harus mendapat perhatian serius. Yaitu melihat dan mencontoh akhlak guru.
Demikianlah para ulama terdahulu. Mereka menghadiri majelis ilmu, juga untuk mendapatkan akhlak dan budi pekerti seorang ‘alim. Untuk dapat mendorong mereka berbuat baik dan berakhlak mulia.
Diceritakan oleh sebagian ulama, bahwa majelis Imam Ahmad dihadiri lima ribu orang. Dikatakan hanya lima ratus orang yang menulis, dan sisanya mengambil faidah dari tingkah laku, budi pekerti dan adab beliau.[9]
Abu Bakar Al Muthaawi’i rahimahullâh berkata:
“Saya menghadiri majelis Abu Abdillâh –beliau mengimla’ musnad kepada anak-anaknya– duabelas tahun. Dan saya tidak menulis, akan tetapi saya hanya melihat kepada adab dan akhlaknya”.[10]

Dengan demikian kehadiran kita dalam majelis ilmu, hendaklah bukan semata-mata mengambil faidah ilmu saja, akan tetapi juga mengambil semua faidah yang ada.

Inilah sebagian faidah yang dapat diambil dari hadits ini. Mudah-mudahan bermanfaat.

[1] Para ulama’ berbeda pendapat mengenai nama asli beliau. Pendapat terkuat, beliau bernama Abdurrahman bin Shahr
[2] Lihat Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim, hal.68.
[3] Lihat Rihlah Fi Thalabil Hadits, hal.196.
[4] Tadzkiratul Hufadz 1/331
[5] Siyar A’lam Nubala 4/1470.
[6] Miftah Daris Sa’adah 1/169.
[7] Al Faqiih Wal Mutafaaqih 1/143.
[8] Jami’ Bayanil Filmi Wa Fadhlihi 2/136.
[9] Siyar A’lam Nubala 11/316.
[10] Ibid. 11/316