‘Ujub secara bahasa adalah membanggakan (mengherankan) diri dalam hati (bathin), sedangkan dalam istilah diartikan memastikan (wajib) keselamatan badan dari siksa akhirat. ‘Ujub termasuk dalam kategori dosa besar, dimana dalam hatinya bercongkol suatu sifat yang dapat menghilangkan kekuasaan Allah, termasuk dalam segala perbuatan yang telah Allah ciptakan (sifat baik dan buruk)[1], maka dari itu Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 99:
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ
“Maka Apakah mereka merasa aman dari azab
Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan
azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”.
Dari pemaparan diatas dapat kita fahami bahwa
‘ujub yaitu suatu sikap membanggakan diri, dengan memberikan satu penghargaan
yang terlalu berlebihan kepada kemampuan diri dalam hal menghindar dari siksa
neraka. Sikap ini tercermin pada rasa tinggi diri (superiority complex)
dalam bidang keilmuan, amal perbuatan ataupun kesempurnaan moral. Sehingga
sampai pada sebuah kesimpulan sudah tidak memperdulikan bahwa sebenarnya
Allah-lah yang membuat kebaikan ataupun keburukan, serta Dia-lah yang
melimpahkan kenikmatan yang nyata[2].
Maka dari itu, Allah kembali mengingatkan kepada
orang-orang yang beriman mengenai sifat ‘ujub ini dalam surah Al-An’am ayat 82:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“ Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah
yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk”.
Pendapat Syaikh Ahmad Rifai seiring dengan hadith
Nabi SAW yang diriwatakan oleh Imam Tabrani, sebagaimana yang
telah di kutip oleh Imam al-Ghazali, yaitu:
“Tiga perkara yang membinasakan yaitu: kikir yang
ditaati, hawa nafsu yang diikuti, dan kekaguman(takjub) seseorang
kepada dirinya sendiri (‘Ujub[3])”.
Salah seorang ahli hikmah berkata: “Ada seorang
yang terkena penyakit ‘ujub, akhirnya ia tergelincir dalam kesalahan karena
terlalu ujub terhadap dirinya sendiri. Ada sebuah pelajaran yang dapat kita
ambil dari orang itu, ketika ia berusaha jual mahal dengan kemampuan dirinya,
maka Imam Syafi’i pun membantahnya seraya berseru di hadapan khalayak ramai: “Barangsiapa
yang mengangkat-angkat diri sendiri secara berlebihan, niscaya Allah SWT akan
menjatuhkan martabatnya.”
Orang yang terkena penyakit ujub akan memandang
remeh dosa-dosa yang dilakukannya serta menganggapnya bagai angin lalu. Nabi
SAW telah mengabarkan kepada kita dalam sebuah hadits:
“Orang yang jahat akan melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap di
hidungnya, dengan santai dapat diusirnya hanya dengan mengibaskan tangan.
Adapun seorang mukmin melihat dosa-dosanya bagaikan duduk di bawah kaki gunung
yang siap menimpanya.” (HR. Al-Bukhari)
Bisyr Al-Hafi menjelaskan ‘ujub
sebagai berikut: “ Menganggap hanya amalanmu saja yang banyak dan memandang
remeh amalan orang lain.”
Sufyan Ats-Tsauri meringkas makna
‘ujub sebagai berikut: “Yaitu perasaan takjub terhadap diri sendiri hingga
seolah-olah dirinyalah yang paling utama daripada yang lain. Padahal boleh jadi
ia tidak dapat beramal sebagus amal saudaranya itu dan boleh jadi saudaranya
itu lebih wara’ dari perkara haram
dan lebih suci jiwanya ketimbang dirinya”.
Al-Fudhail bin Iyadh berkata:
إذْظَفَرَ اِبْلِيْسُ مِنْ اِبْنِ آدَمَ بِاِحْدَىْ ثَلاَثٍ خِصَالٍ قَالَ: لاَأطْلُبُ غَيْرَهَا: إعْجَابُهُ بِنَفْسِهِ،
وَاسْتِكْثَارُهُ عَمَلَهُ، وَنِسْيَانُهُ ذُنُوْبَهُ
“Iblis jika ia dapat melumpuhkan bani Adam dengan
salah satu dari tiga perkara ini: ‘ujub terhadap diri sendiri, menganggap
amalnya sudah banyak dan lupa terhadap dosa-dosanya. Dia (Iblis) berkata: “Saya
tidak akan mencari cara lain.” Semua perkara di atas adalah sumber kebinasaan.
Berapa banyak lentera yang padam karena tiupan angin? Berapa banyak ibadah yang
rusak karena penyakit ‘ujub?
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan bahwa
seorang lelaki berkata: “Allah tidak akan mengampuni si Fulan! Maka AllahSWT
berfirman: “Siapakah yang lancang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak
mengampuni Fulan?! Sungguh Aku telah mengampuninya dan menghapus amalanmu!” (HR.
Muslim)
Lebih jauh, Syaikh
Ahmad Rifa’I menukil dari pendapat Imam al-Ghazali dalam
kitabnya Ihya’ Ulum al-Diin, Jilid III halaman 390-391[4],
yaitu:
وَحَقِيْقَةُ الْعُجْبِ تَكَبُّرٌ يَحْصُلُ فِى الْبَاطِنِ بِتَحَيُّلِ كَمَالٍ مِنْ عِلْمٍ وَعَمَلٍ , فَإِنْ كَانَ خَائِفًا عَلَى زَوَالِهِ فَهُوَ غَيْرُ مُعْجِبٍ . وَإِنْ كَانَ يَفْرَحُ بِكَوْنِهِ نِعْمَةً مِنَ اللهِ فَهُوَ لَيْسَ مُعْجِبًا بَلْ هُوَ مَسْرُوْرٌ بِفَضْلِ اللهِ, وَإِنْ كَانَ نَاظِرًا إِلَيْهِ مِنْ حَيْثُ هُوَ صِفَةٌ غَيْرَ مُلْتَفِتٍ إِلَى إِمْكَانِ الزَّوَالِ وَلَا إِلَى الْمُنْعِمِ بِهِ إِلَى صِفَةِ نَفْسِهِ فَهَذَا الْعُجْبُ وَهُوَ مِنَ الْمُهْلِكَاتِ وَعِلاَجُهُ أَنْ يَتَأَمَّلَ فِى الْعَاقِبَةِ, وَأَنَّ بَلْعَامَ كَيْفَ خُتِمَ بِالْكُفْرِ وَكَذَلِكَ إِبْلِيْسَ, فَمَنْ تَأَمَّلَ فِى إِمْكَانِ سُوْءِ الْخَاتِمَةِ وَإِنَّهُ مُمْكِنٌ فَلاَ يَعْجُبُ بِشَيْئٍ مِنْ صِفَاتِهِ .
“Bahwa hakikat ‘ujub adalah kesombongan yang
terjadi dalam diri seseorang karena menganggap adanya kesempurnaan amal dan
ilmunya. Apabila seseorang merasa takut kesempurnaan (ilmu dan amalnya),
itu akan dicabut oleh Allah, maka berarti ia tidak bersifat ‘ujub.
Demikian juga apabila ia merasa gembira karena
menganggap dan mengakui bahwa kesempurnaan merupakan suatu nikmat
dan karunia Allah, maka ia juga bukan masuk ke dalam jenis ‘ujub.
Akan tetapi sebaliknya, apabila ia menganggap
bahwa kesempurnaan itu sebagai sifat dirinya sendiri tanpa memikirkan tentang
kemungkinan kesempurnaan itu lenyap, serta tidak pernah memikirkan siapa Sang
pemberi kesempurnaan tersebut, maka inilah yang dinamakan ‘ujub. Sifat ini
sangat membahayakan bagi setiap manusia, karena ia mengajak kepada lupa
dosa-dosa yang telah dibuatnya dan mengesampingkan (acuh) terhadap dosa-dosa
yang telah diperbuatnya. Satu-satunya jalan untuk terhidar dari sifat ‘ujub
ini, kita selalu mencoba mengingat kembali apa yang telah kita lakukan supaya
cepat kembali ke pangkal jalan (insyaf), sebagaimana Ulama
Bal’am dan Iblis La’natullah ‘alaih yang ibadahnya
sudah mencapai ribuan tahun pun pengakhiran hidupnya dengan pengakhiran yang
buruk (Su’u al-Khotimah), Karena, sifat ‘ujub menjadikan hati
seorang mukmin menjadi ingkar akan segala nikmat yang telah Allah berikan
padanya (kufr al-nikmat).”
Supaya kita lebih memahami makna yang tersirat
dari perkataan Imam al-Ghazali di atas, para ulama ahli sufi
dengan jelas memberikan suatu gambaran kepada kita, yaitu[5]:
لَا تُفَرِّحْكَ الطَّاعَةُ لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنْكَ لِأَنَّهُ يُوْرِثُ الْعُجْبَ وَالْكِبْرَ وَإِهْمَالَ الشُّكْرِ
وَافْرَحْ بِهَا لِأَنَّهَا بَرَزَتْ مِنَ اللهِ إِلَيْكَ قُلْ بِفَضْلِ اللهِ الْإِسْلاَمِ وَبِرَحْمَتِهِ الْقُرْأَنِ
فَبِذَالِكَ الْفَضْلُ وَالرَّحْمَةُ فَلْيَفْرَحُوْا هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ .
“Jangan sesekali merasa diri kita paling taat
kepada-Nya, karena ia dapat membawa malapetaka, seperti menganggap diri kita
yang paling mulya (‘ujub), takabbur kemudian lupa akan segala
nikmat-nikmat-Nya. Dan merasa-lah dalam hati kita, bahwa ketaatan itu sejatinya
merupakan pemberian Allah semata, dengan petunjuk-Nya telah memberikan satu
karunia cahaya ke-Islam-an dan iman yang diridhai-Nya, dengan kasih sayang-Nya
turunlah Al-Quran sebagai pedoman sehingga kita mampu membedakan mana yang hak
dan yang bathil, dengan demikian, merasalah bergembira dalam hati atas segala
anugerah yang telah Allah limpahkan kepada kita.”
Sebab-Sebab ‘Ujub[6]:
1. Faktor Lingkungan dan Keturunan
Yaitu keluarga dan lingkungan tempat seseorang
itu tumbuh. Seorang insan biasanya tumbuh sesuai dengan polesan tangan kedua
orang tuanya. Ia akan menyerap kebiasaan-kebiasaan keduanya atau salah satunya
yang positif maupun negatif, seperti sikap senang dipuji, selalu menganggap
diri suci dan sebagainya.
2. Sanjungan dan Pujian yang Berlebihan
Sanjungan berlebihan tanpa memperhatikan etika
agama dapat diidentikkan dengan penyembelihan, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
وَيْحَكَ قَطَعْتَ عُنُقُ صَاحِبَكَ
“Celakalah engkau, engkau telah memotong
leher sahabatmu”. (Muttafaq ‘alahi)
Seringkali kita temui sebagian orang yang terlalu
berlebihan dalam memuji hingga seringkali membuat yang dipuji lupa diri. Pujian
adalah fatamorgana yang dihajatkan oleh nafsu.
At-Tsauri berkata:
فَاِنْ لَمْ تَكُنْ مُعْجِبًا بِنَفْسِكَ فَإِيَّاكَ اَنْ تُحِبَّ مَحْمَدَةَ النَّاسِ وَمَحْمَدَتُهُمْ اَنْ تُحِبَّ اَنْ يُكَرِّمُوْكَ بِعَمَلِكَ، وَيَرَوْا لَكَ بِهِ شَرَفًا وَمَنْزِلَةً فِى صُدُوْرِهِمْ
“Apabila kamu sudah tidak ‘ujub pada diri,
kamu juga mesti menjauhi sifat ‘suka dipuji’. Bukti bahwa kamu suka pujian
orang adalah bahwa kamu ingin agar mereka menghormati kamu kerana sesuatu amal
yang kamu lakukan dan supaya mereka mengetahui kemuliaan dan kedudukan kamu di
hadapan mereka”.
Pujian ditujukan kepada kerja yang kita lakukan
atau ucapan yang telah kita sampaikan. Orang memuji mempunyai tujuan tertentu,
sedangkan kita sendiri mengetahui hakikat sebenarnya apa yang ada pada diri
kita, tetapi kita lupa atau terpedaya.
Fudhail bin ‘Iyadh mengemukakan
parameter supaya kita dapat mengukur dan mengetahui hakikat diri sendiri:
إِنَّ مِنْ عَلاَمَةِ الْمُنَافِقِ اَنْ يُحِبَّ الْمَدْحَ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ،
وَيَكْرَهَ الذَّمِّ بِمَا فِيْهِ، وَيَبْغَضَ مَنْ يَبْصُرُهُ بِعُيُوْبِهِ
“Sesungguhnya di antara tanda-tanda orang
munafik adalah bahwa ingin mendapat pujian dengan perkara yang tidak ada
padanya, sedangkan ia membenci terhadap celaan yang ada pada dirinya, dia marah
kepada orang yang memandang berbagai kekurangan yang ada pada dirinya”.
3. Bergaul Dengan Orang yang Terkena Penyakit Ujub.
Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang akan
mengikuti tingkah laku temannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Perumpamaan teman yang shalih dan teman yang
jahat adalah seperti orang yang berteman dengan penjual minyak wangi dan pandai
besi.” (HR. Bukhari Muslim)
Teman akan membawa pengaruh yang besar dalam kehidupan
seseorang.
4. Kufur Nikmat dan Lupa Kepada Allah SWT
Begitu banyak nikmat yang diterima seorang hamba,
tetapi ia lupa kepada Allah SWT yang telah memberinya nikmatnya. Sehingga hal
itu menggiringnya kepada penyakit ‘ujub, ia membanggakan dirinya yang
sebenarnya tidak pantas untuk dibanggakan. Allah SWT telah menceritakan kepada
kita kisah
Qarun:
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي …..
“Qarun berkata: “Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku”. (Al-Qashash: 78)
5. Menangani Suatu Pekerjaan Sebelum Matang Dalam Menguasainya dan
Belum Terbina Dengan Sempurna
Pada hari ini kita banyak mengeluhkan masalah
yang telah banyak menimbulkan berbagai pelanggaran. Sekarang ini banyak kita
temui orang-orang yang berlagak pintar persis seperti kata pepatah ‘sudah
dipetik sebelum matang’. Berapa banyak orang yang menjadi korban dalam hal
ini! Dan itu termasuk perbuatan sia-sia. Yang lebih parah lagi adalah seorang
yang mencuat sebagai seorang ulama padahal ia tidak memiliki ilmu sama sekali.
Lalu ia berkomentar tentang banyak permasalahan, yang terkadang ia sendiri
jahil tentang hal itu. Namun ironinya terkadang kita turut menyokong hal
tersebut. Yaitu dengan memperkenalkannya kepada khalayak umum. Padahal sekarang
ini, masyarakat umum itu ibaratnya seperti orang yang menganggap emas seluruh
yang berwarna kuning. Kadangkala mereka melihat seorang qari yang merdu
bacaannya, atau seorang sastrawan yang lihai berpuisi atau yang lainnya, lalu
secara membabi buta mereka mengambil segala sesuatu dari orang itu tanpa
terkecuali meskipun orang itu mengelak seraya berkata: “Aku tidak tahu!”.
Perlu diketahui bahwa bermain-main dengan sebuah pemikiran lebih berbahaya
daripada bermain-main dengan api. Misalnya beberapa orang yang bersepakat untuk
memunculkan salah satu di antara mereka menjadi tokoh yang terpandang di
tengah-tengah kaumnya, kemudian mengadakan acara penobatannya dan membuat-buat
gelar yang tiada terpikul oleh siapa pun. Niscaya pada suatu hari akan
tersingkap kebobrokannya. Mengapa? Sebab perbuatan seperti itu berarti
bermain-main dengan pemikiran. Sepintas lalu apa yang mereka ucapkan mungkin
benar, namun lambat laun masyarakat akan tahu bahwa mereka telah tertipu!
6. Jahil dan Mengabaikan Hakikat Diri (Lupa Daratan)
Sekiranya seorang insan benar-benar merenungi
dirinya, asal-muasal penciptaannya sampai tumbuh menjadi manusia sempurna,
niscaya ia tidak akan terkena penyakit ‘ujub. Ia pasti meminta kepada Allah SWT
agar dihindarkan dari penyakit ujub sejauh-jauhnya. Salah seorang penyair
bertutur dalam sebuah syair yang ditujukan kepada orang-orang yang terbelenggu
penyakit ujub:
“Hai orang yang pongah dalam keangkuhannya.
Lihatlah tempat buang airmu, sebab kotoran
itu selalu hina.
Sekiranya manusia merenungkan apa yang ada
dalam perut mereka, niscaya tidak ada satupun orang yang akan menyombongkan
dirinya, baik pemuda maupun orang tua.
Apakah ada anggota tubuh yang lebih dimuliakan
selain kepala?
Namun demikian, lima macam kotoranlah yang
keluar darinya!
Hidung beringus sementara telinga baunya
tengik.
Tahi mata berselemak sementara dari mulut
mengalir air liur.
Hai bani Adam yang berasal dari tanah, dan
bakal dilahap tanah, tahanlah dirimu (dari kesombongan), karena engkau bakal
menjadi santapan kelak.
Penyair ini mengingatkan kita pada asal muasal
penciptaan manusia dan keadaan diri mereka serta kesudahan hidup mereka. Maka
apakah yang mendorong mereka berlagak sombong? Pada awalnya ia berasal dari
setetes mani hina, kemudian akan menjadi bangkai yang kotor sedangkan semasa
hidupnya ke sana ke mari membawa kotoran.
7. Berbangga-bangga Dengan Nasab dan Keturunan
Seorang insan terkadang memandang mulia diri-nya
karena darah biru yang mengalir di tubuhnya. Ia menganggap dirinya lebih utama
dari si Fulan dan Fulan. Ia tidak mau
mendatangi si Fulan sekalipun berkepentingan. Dan tidak mau mendengarkan ucapan
si Fulan. Tidak ragu lagi, ini merupakan penyebab utama datangnya penyakit
‘ujub.
Dalam sebuah kisah pada zaman khalifah Umar radhiyallahu
‘anhu disebutkan bahwa ketika Jabalah bin Al-Aiham memeluk Islam, ia
mengunjungi Bait Al-Haram. Sewaktu tengah melakukan thawaf,
tanpa sengaja seorang Arab badui menginjak kainnya. Tatkala mengetahui seorang
Arab badui telah menginjak kainnya, Jabalah langsung melayangkan tangannya
memukul si Arab badui tadi hingga terluka hidungnya. Si Arab badui itu pun
melapor kepada sayyidina Umar dan mengadukan tindakan Jabalah tadi. Umar
pun memanggil Jabalah lalu berkata kepadanya: “Engkau harus diqishash
wahai Jabalah!” Jabalah membalas: “Apakah engkau menjatuhkan hukum qishash
atasku? Aku ini seorang bangsawan sedangkan ia (Arab badui) orang pasaran!”
Umar menjawab: “Islam telah menyamaratakan antara
kalian berdua di hadapan hukum!” Tidakkah engkau ketahui bahwa: Islam telah
meninggikan derajat Salman seorang pemuda Parsi, dan menghinakan kedudukan Abu
Lahab karena syirik yang dilakukannya. Ketika Jabalah tidak mendapatkan
dalih untuk melepaskan diri dari hukuman, ia pun berkata: “Berikan aku waktu
untuk berpikir!” Ternyata Jabalah melarikan diri pada malam hari. Diriwayatkan
bahwa Jabalah ini akhirnya murtad dari agama Islam, lalu ia menyesali
perbuatannya itu.
8. Berlebih-lebihan Dalam Memuliakan dan Menghormati
Barangkali inilah hikmahnya Rasul SAW melarang
sahabat-sahabat beliau untuk berdiri menyambut beliau. Dalam sebuah hadits
riwayat Abu Dawud, Rasulullah bersabda:“Barangsiapa yang suka agar
orang-orang berdiri menyambutnya, maka bersiaplah dia untuk menempati tempatnya
di Neraka.” (HR. At-Tirmidzi, beliau katakan: hadits ini hasan)
Dalam hadits lain Rasul bersabda:
“Janganlah kamu berdiri menyambut seseorang
seperti yang dilakukan orang Ajam (non Arab) sesama mereka.” (HR.
Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu)
9. Lengah Terhadap Akibat yang Timbul
dari Penyakit ‘Ujub
Sekiranya seorang insan menyadari bahwa ia hanya
menuai dosa dari penyakit ujub yang menjangkiti dirinya dan menyadari bahwa
‘ujub itu adalah sebuah pelanggaran, sedikitpun ia tidak akan kuasa bersikap
‘ujub. Apalagi jika ia merenungi sabda Rasul:”Sesungguhnya seluruh orang
yang sombong akan dikumpulkan pada hari Kiamat bagaikan semut yang
diinjak-injak manusia.” Ada seseorang yang bertanya: “Wahai Rasul,
bukankah seseorang itu ingin agar baju yang dikenakannya bagus, sandal yang
dipakainya juga bagus?”
Rasul menjawab: “Sesungguhnya Allah itu Maha
Indah, dan menyukai keindahan, hakikat sombong itu ialah menolak kebenaran
dan merendahkan orang lain.”
(HR. Muslim dari Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu)
Dampak ujub
1. Jatuh dalam jerat-jerat kesombongan, sebab ujub merupakan pintu menuju kesombongan.
2. Dijauhkan dari pertolongan Allah. sebagaimana firmannya:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
“Orang-orang yang berjihad (untuk mencari
keri-dhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
Kami.” (Al-Ankabut: 69)
3. Terpuruk dalam menghadapi berbagai krisis dan cobaan kehidupan.
Bila cobaan dan musibah datang menerpa,
orang-orang yang terjangkiti penyakit ‘ujub akan berteriak: ‘Oh kawan, carilah
keselamatan masing-masing!’ Berbeda halnya dengan orang-orang yang teguh di
atas perintah Allah SWT, mereka tidak akan melanggar rambu-rambu, sebagaimana
yang dituturkan Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhahu:
Siapakah yang mampu lari dari hari kematian?
Bukankah hari kematian hari yang telah
ditetapkan?
Bila sesuatu yang belum ditetapkan, tentu aku
dapat lari darinya.
Namun siapakah yang dapat menghindar dari takdir?
4. Dibenci dan dijauhi orang-orang. Tentu saja, seseorang akan diperlakukan sebagaimana ia memperlakukan orang lain. Jika ia memperlakukan orang lain dengan baik, niscaya orang lain akan membalas lebih baik kepadanya.
Allah berfirman:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Apabila kamu dihormati dengan suatu
penghor-matan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau
balaslah (dengan yang serupa).” (An-Nisa’: 86)
Namun seseorang kerap kali meremehkan orang lain,
ia menganggap orang lain tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya. Tentu saja
tidak ada orang yang senang kepadanya. Sebagaimana kata pepatah ‘Jika engkau
menyepelekan orang lain, ingatlah! Orang lain juga akan menyepelekanmu’
5. Azab dan pembalasan cepat ataupun lambat. Se-orang yang terkena penyakit ujub pasti akan merasakan pembalasan atas sikapnya itu. Dalam hadits disebutkan:
“Ketika seorang lelaki berjalan dengan
mengenakan pakaian yang necis, rambut tersisir rapi sehingga ia takjub pada
dirinya sendiri, seketika Allah membenamkannya hingga ia terpuruk ke dasar bumi
sampai hari Kiamat.”
(HR. Al-Bukhari)
Hukuman ini dirasakannya di dunia
akibat sifat ‘ujub. Seandainya ia lolos dari hukuman tersebut di dunia, yang
jelas amalnya pasti terhapus. Dalilnya adalah hadits yang menceritakan tentang
seorang yang bersumpah atas nama Allah bahwa si Fulan tidak akan diampuni,
ternyata Allah SWT mengampuni si Fulan dan menghapus amalnya sendiri.
Dengan begitu kita harus berhati-hati dari sifat
‘ujub ini, dan hendaknya kita memberikan nasihat kepada orang-orang yang
terkena penyakit ujub ini, yaitu orang-orang yang menganggap hebat amal mereka dan
menyepelekan amal orang lain.
Penjelasan mengenai ‘ujub diatas mengandung muatan kritik terhadap 3 kalangan[7]:
1. Orang yang mengaku suci tetapi amaliyah syariatnya masih banyak kekurangan. Mereka berbicara tentang upaya membersihkan hati namun masih belum sah dalam melaksanakan shalat (dengan tidak mengetahui syarat-rukun dan batal dalam urusan shalat).
2. Orang yang mengaku alim padahal belum sah iman dan shalatnya. Dalam dirinya merasa paling benar sedangkan sebenarnya dia mengikut kehendak syaitan dengan melakukan tindakan ‘ujub serta takabbur tetapi tidak diketahuinya.
3. Guru yang munafik yaitu orang-orang yang sebenarnya bodoh tetapi karena takabbur dia mengaku menjadi guru.
mudah-mudahan Allah jauhkan kita daripada sifat ini,
Amin.
Shollallahu ‘Ala Muhammad Wa AalihiIbnu Dahlan El-Madary
Seri Kembangan, Kuala Lumpur, 13 June 2011/12 Rajab 1432: 11PM
.
[1]
Syeh Ahmad Rifa’i, Riayah Akhir, Bab Ilmu Tasawuf, Korasan 21, halaman
16, baris 9, bisa juga lihat dalam kitab karangan beliau lainnya seperti dalam Abyan
al-Hawaaij, beliau menerangkan ‘ujub hukumnya haram dan dosa besar,
dicontohkan seorang Ulama yang bernama Bal’am sudah rusak
imannya, yaitu dengan pengakhiran hayatnya dalam keadaan kufur (Su’u
al-Khotimah).
[2]
Shodiq Abdullah, Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan tradisi,
RaSAIL: Semarang, Desember 2006, halaman 135
[3]
Hadith ini disebutkan oleh Al-Mundziry dalam kitab At-Targhib wa Tarhib
1/162 yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar dan Al-Baihaqi serta dibenarkan oleh
Al-Albany
[4]
Opcit. Riayah Akhir, korasan 21, halaman 19, baris ke 2-9
[5]
__________________, Riayah Akhir, Korasan 22, halaman 1, baris 10
[6]
Risalah Al-Hujjah No: 54 / Thn IV / Rabiul Awal
[7]
Dr. Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa: Pemikiran dan Gerakan Islam KH.Ahmad
Rifa’I ,
Kalisalak, LKiS, Yogyakarta, januari, 2001,
halaman 152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar