DEFINISI NAFKAH
Secara bahasa النفقة
(nafkah) artinya sesuatu yang dibelanjakan sehingga habis tidak
tersisa.
Sedangkan
secara istilah syari’at artinya; mencukupi kebutuhan siapapun yang
ditanggungnya, baik berupa makanan, minuman pakaian, atau tempat tinggal[1].
KEWAJIBAN
MEMBERI NAFKAH
1. Kewajiban
menafkahi sebab pernikahan
Seorang laki-
laki jika menikahi seorang wanita, maka wajib baginya memberinya nafkah, hal
ini didasari oleh beberapa hal:
- Allah
berfirman:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf.’’
(QS.Al-Baqarah 228)
Ibnu Katsir
berkata,’’maksudnya, para istri mempunyai hak diberi nafkah oleh suaminya yang
seimbang dengan hak suami yang diberikan oleh istrinya, maka hendaklah masing-
masing menunaikan kewajibannya dengan cara yang makruf, dan hal itu mencakup
kewajiban suami memberi nafkah istrinya, sebagaimana hak- hak lainnya .’’
(Tafsir al-Qur’anil Adhim 1/272)
- Rasulullah
bersabda;
وَلَهُنَّ
عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Dan mereka
(para istri) mempunyai hak diberi rizki dan pakaian (nafkah) yang diwajibkan
atas kamu sekalian (wahai para suami).’’ (HR. Muslim 2137).
- Para ulama
bersepakat atas kewajiban seorang suami memberi nafkah istrinya, seperti yang
dikatakan oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah dan lainnya[2]
Catatan: Tidak menjadi suatu kewajiban seorang suami,
jika sang istri menolak, atau keluarga wanita tersebut menghalangi sang suami
untuk mendekati dan berhubungan dengan istrinya, hal itu lantaran kewajiban
suami memberi nafkah sebagai timbal- balik dari manfaat yang diberikan sang istri[3].
:: Kadar
besaran nafkah
Para fuqoha
(ahli fiqih) bersepakat bahwa ukuran yang wajib diberikan sebagai nafkah adalah
yang makruf/ yang patut atau wajar, sedangkan mayoritas pengikut madzhab
Hanafi, Maliki, dan Hambali, mereka membatasi yang wajib adalah yang sekiranya
cukup untuk kebutuhan sehari- hari, dan kecukupan itu berbeda- beda menurut
perbedaan kondisi suami dan istri, kemudian hakim-lah yang memutuskan perkara
jika ada perselisihan[4]. Hal ini dedasari oleh firman
Allah;
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
‘’Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf,
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’
(QS.al-Baqarah 233)
Kadar nafkah
untuk kecukupan keluarga dalam kehidupan sehari- hari dengan cara yang wajar
telah ditegaskan oleh Rasulullah, ketika Hindun bintu Itbah melaporkan yang
suaminya yang sangat kikir, beliau bersabda;
خُذِي مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
‘’Ambil-lah
nafkah yang cukup untukmu dan anak- anakmu dengan cara yang wajar.’’
(HR.Bukhori 4945)
:: Besaran
nafkah tergantung kondisi suami atau istri?
Para ulama
berbeda pendapat tentang besaran nafkah yang harus diberikan suami kepada
istrinya[5];
Pendapat
pertama: Besaran nafkah harus dilihat kondisi sang
istri, ini adalah madzhab maliki, berdasarkan firman Allah;
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا
تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ
‘’Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf,
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.’’
(QS.al-Baqarah 233)
Pendapat kedua: besaran nafkah harus dilihat kondisi sang
suami, ini adalah riwayat madzhab hanafi dan Syafii yang lebih terkenal, dan
hal ini didasari oleh firman-Nya;
لِيُنْفِقْ ذُو
سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ
‘’Hendaklah
orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang
disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya.’’(QS. ath-Thalaq [65]: 7)
Pendapat ke
tiga: besaran
nafkah ditentukan menurut kondisi keduanya (suami istri), ini adalah madzhab
Hanbali dan demikianlah yang difatwakan oleh segenap ulama madzhab Hanafi , dan
pendapat inilah yang lebih benar karena dengannya terkumpul semua dalil
diatas[6] (dalil
pendapat pertama dan ke dua).
:: Waktu wajib
memberi nafkah
Pada dasarnya
seorang suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya pada permulaan pagi
setiap harinya, karena saat itulah kebutuhan nafkah (makanan dan minuman) mulai
terasa, akan tetapi jika keduanya sepakat untuk menunda atau memajukannya,
seperti setiap akhir pekan atau setiap awal bulan atau akhirnya dan semisalnya (karena
suatu kemaslahatan), maka itu dibolehkan sebab nafkah hanyalah hak dan
kewajiban suami istri[7]
:: Kewajiban
menempatkan istri di rumah yang layak
Wajib bagi
seorang suami untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal istrinya dengan layak ,
hal ini telah disepakati oleh para ulama, sebagaimana firman- Allah:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
Keterangan: termasuk mempergauli istri dengan cara yang
patut adalah menempatkan istri dirumah yang patut/layak baginya, sebab istri
membutuhkan tempat tinggal yang dapat dipakai beristirahat, bersenang- senang
dengan suaminya dan menutupi auratnya dari pandangan manusia, serta untuk
menjaga hartanya, hanyasaja tempat tinggalnya disesuaikan dengan kemampuan sang
suami, sebab Allah berfirman;
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
‘’Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu.’’
(QS.At-Thalaq 6)
:: Suami
memenuhi kebutuhan istri sesuai ‘urf/adat setempat
Jika suami
mampu (lihat QS.At-Thalaq 6 di atas), maka wajib baginya memenuhi kebutuhan
istrinya sesuai dengan ‘urf/ adat setempat, (karena hal ini termasuk dalam
QS.an-Nisa’ 19). Suatu contoh, jika adat penduduk setempat makanan sehari-
harinya adalah roti, atau jika kebiasaan mereka tidur diatas kasur dan
menggunakan bantal (bukan dilantai atau beralas tikar) maka itulah yang menjadi
kewajiban suami jika ia mampu[8].
:: Haruskah ada
pembantu rumah tangga?
Tidak ada
perselisihan[9] diantara para ulama bahwa
seorang istri yang tidak mampu hidup sendiri kecuali dengan pembantu rumah
tangga, baik karena sebab terbiasa hidup berkecukupan, karena sakit atau sebab
lainnya, maka wajib bagi suami jika mampu untuk mendatangkan pembantu rumah
tangga demi membantu istrinya menyelesaikan urusan rumahnya, hal ini termasuk
dalan firman-Nya:
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ ۚ
‘’Dan
bergaullah dengan mereka secara patut.’’ (QS.An-Nisa’ 19)
Dan termasuk
mempergauli istri dengan cara yang patut adalah suami memenuhi kebutuhan pokok
sang istri seperti pembantu rumah tangga[10].
:: Wanita yang
telah dicerai haruskah dinafkahi ?
Wanita yang
ditalak suaminya tidak lepas dari dua kondisi,
Pertama: wanita yang dicerai tetapi talaknya masih
raj’iy (talak satu atau talak dua) yang masih dalam masa iddah, maka para ulama
sepakat bahwa dia masih berhak nafkah dari suaminya, sebab dia statusnya masih
sebagai istri yang sah, dengan bukti selagi belum habis masa iddahnya suami
boleh merujuknya, sebagaimana Allah menyebutnya sebagai suami yang sah dalam
firman-Nya;
وَبُعُولَتُهُنَّ
أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
‘’Dan
suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti (iddah) itu,
jika mereka (para suami) menghendaki ishlah/ perbaikan.’’ (QS.Al-Baqarah
228)
Ke dua: wanita yang dicerai suaminya dengan talak ba’in
sughro (talak satu atau dua) dan telah habis masa iddah, atau talak ba’in
kubro (talak tiga).
Kondisi kedua
ini terbagi menjadi dua keadaan;
- Jika wanita
tersebut dalam kondisi hamil maka para ulama sepakat dia berhak mendapatkan
nafkah dari mantan suaminya karena nafkah tersebut buat sang janin milik
ayahnya, Allah berfirman;
وَإِنْ كُنَّ
أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
‘’Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)
- Tetapi jika
wanita (yang ditalak ba’in) tersebut tidak hamil, maka para ulama berbeda pendapat
tentang kewajiban nafkah atas mantan suaminya, dan pendapat yang kuat
adalah tidak ada kewajiban bagi mantan suami untuk menafkahi wanita yang telah
ditalak ba’in[11], hal ini didasari oleh sebuah
hadits dari Fathimah binti Qois dari Rasulullah, beliau bersabda tentang wanita
yang ditalak ba’in;
لَيْسَ لَهَا
سُكْنَى وَلَا نَفَقَةٌ
‘’Tidak ada
hak tempat tinggal dan nafkah baginya.’’ (HR.Muslim 2717)
:: Gugur
kewajiban menafkahi istri yang durhaka
Nusyuz (النشوز ) dalam kata lain durhaka, adalah sebab
gugurnya kewajiban suami terhadap istrinya dalam hal nafkah, apabila istri
durhaka, tidak menaati suaminya dan tidak menuruti keinginan suaminya dalam hal
yang bukan kemaksiatan, maka gugurlah kewajiban suami untuk memberi nafkah
istrinya sampai sang istri kembali ta’at kepada suaminya.[12]
:: Kapan istri
boleh mengambil harta suami tanpa izin?
Jika suami
tidak memenuhi kebutuhan istri baik makanan, minuman, atau pakaian, padahal ia
mampu, maka boleh bagi sang istri mengambil harta suaminya tanpa mendapat izin
darinya, tetapi yang diambil hanya sekedar nafkah yang cukup buat keluarga
dengan secara patut tidak boleh berlebihan, hal ini didasari oleh sebuah hadits
dari Aisyah beliau berkata;
أَنَّ هِنْدَ
بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ
شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ
وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
Bahwasanya
Hindun bintu ‘Itbah berkata,’’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah
orang yang kikir, dia tidak memberi nafkah yang cukup buat aku dan anak-
anakku, kecuali aku harus mengambilnya sedangkan dia tidak tahu,’’ maka
(Rasulullah) mengatakan,’’ambillah apa yang cukup buatmu dan anak- anakmu
dengan cara yang patut.’’
(HR.Bukhori 4945)
:: Sikap istri
Jika suami tidak mampu menafkahi
Jika suami
tidak mampu menafkahi istrinya maka para ulama berbeda pendapat tentang boleh
dan tidaknya istri menuntut perpisahan dengan suaminya;
Pendapat
pertama: istri tidak
berhak menuntut perpisahan dengan suaminya, tetapi harus bersabar dan suami
harus berusaha semaksimal mungkin walaupun harus berhutang[13]. Hal ini didasari oleh firman
Allah;
وَإِنْ كَانَ
ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ
‘’Dan jika
(orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia
berkelapangan.’’ (QS.Al-Baqarah 280)
Pendapat ke
dua: istri berhak
memilih antara bersabar dan menunggu usaha suaminya, atau menuntut perpisahan
dengan suaminya[14], hal ini didasari oleh firman
Allah;
فَإِمْسَاكٌ
بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ
‘’(Seorang
Suami) boleh menahan/ rujuk dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan
(istrinya) dengan cara yang baik’’. (QS.al-Baqarah 229)
Ayat di atas
menjelaskan bahwa wanita boleh ditahan (tidak dicerai), atau boleh juga dicerai
tetapi keduanya harus dengan cara yang patut/baik, sedangkan menahan istri
dalam keadaan kurang nafkah atau tidak ada nafkahnya, bukan termasuk menahan
istri dengan cara yang patut, sehingga boleh bagi sang istri memilih.
Pendapat yang
kuat: Pendapat kedua
ini yang lebih mendekati kebenaran, dan dikuatkan oleh beberapa hal:
- Ada sebuah
hadits dari Abu Hurairah, beliau berkata Rasulullah bersabda tentang kewajiban
suami menafkahi istrinya;
وَابْدَأْ
بِمَنْ تَعُولُ تَقُولُ الْمَرْأَةُ إِمَّا أَنْ تُطْعِمَنِي وَإِمَّا أَنْ
تُطَلِّقَنِي
‘’Mulailah
(memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, (kalau tidak) maka
istrimu akan mengatakan, nafkahilah aku atau ceraikan aku.’’ (HR.Bukhori
4936)
- Berkata Ibnul
Mundzir,’’Telah sah bahwa Umar bn Khotob memerintahkan para tentara (yang
bepergian) untuk tetap memberi nafkah, kalau tidak maka harus menceraikan
istrinya.[15]
2. Kewajiban
menafkahi sebab hubungan kerabat
Kewajiban
menafkahi tidak hanya kepada istri, tetapi kepada para kerabat juga wajib (jika
terpenuhi syarat- syaratnya), seperti menafkahi anak- anaknya, atau orang
tuanya, hal ini didasari oleh beberapa dalal, diantaranya;
-Seperti Firman
Allah tentang kewajiban seorang ayah menafkahi istri yang telah dicerai dalam
keadaan hamil, dan nafkah tersebut adalah untuk sang anak;
وَإِنْ كُنَّ
أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ
‘’Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.’’ (QS.at-Thalaq 6)
Lebih
diperjelas kewajiban seorang ayah memberi nafkah kepada anak- anaknya, dalam
hadits kisah Hindun bintu Itbah diatas (HR.Bukhori 4945)
- Adapun
kewajiban seseorang menafkahi orang tua dan kerabatnya, maka ditunjukkan oleh
keumuman ayat- ayat al-Qur’an tentang perintah berbakti kepada orang tua
(seperti firman Allah QS.al-Isra’ 23, dan 26) dan kebih jelas lagi seperti
dalam hadits;
وابدأ بمن تعول :
أمك وأباك وأختك وأخاك أدناك أدناك
‘’Mulailah
(memberi nafkah) kepada orang yang menjadi tanggunganmu, Ibumu, ayahmu,
saudarimu, saudaramu, dan seterusnya.’’[16]
:: Menafkahi
kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syaratnya
Kewajiban
menafkahi para kerabat menjadi wajib jika terpenuhi syarat- syaratnya,
diantaranya:
- Jika kerabat
tersebut (orang tua, saudara dan lainnya) dalam keadaan faqir/ miskin tidak
mampu menafkahi diri mereka sendiri, dan tidak ada orang lain yang menafkahi
mereka. Tetapi jika mereka mampu, atau ada orang lain menafkahi mereka,
maka gugurlah kewajiban ini.
- Jika
seseorang mempunyai kelebihan setelah menafkahi diri dan yang ditanggugngnya,
Rasulullah bersabda;
ابْدأْ
بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ
فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ
‘’Mulailah
menafkahi dirimu sendiri, jika tersisa, maka untuk anggota keluargamu, jika
tersisa, maka untuk kerabat dekatmu.’’ (HR.Muslim 1663)
Catatan; Adapun kadar besaran nafkah kepada kerabat
adalah sama dengan kadar besaran nafkah kepada ustri yaitu mencukupi kebutuhan
mereka dengan cara yang patut sesuai kemampuan.[17]
3. Kewajiban
menafkahi budak [miliknya, -ed]
Budak yang
dimiliki tuannya juga wajib dinafkahi, sebagaimana keumuman ayat- ayat
al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk selalu berbuat baik kepada budak
(seperti QS.an-Nisa’ 36) dan seperti dalam sebuah hadits Rosululloh mengatakan
tentang para budak;
هُمْ
إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمْ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ فَأَطْعِمُوهُمْ مِمَّا
تَأْكُلُونَ وَأَلْبِسُوهُمْ مِمَّا تَلْبَسُونَ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا
يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
‘’Mereka adalah
saudaramu yang Alloh kuasakan kepadamu, maka berilah makan dengan apa yang kamu
makan, berilah pakaian dengan apa yang kamu kenakan, dan jangan membebani
mereka dengan apa yang mereka tidak mampu, dan jika kamu membebani mereka, maka
bantulah mereka.’’(HR.Muslim
3139)
4. Kewajiban
Menafkahi binatang piaraan
Jika seseorang
memelihara binatang, maka wajib baginya untuk menafkahinya berupa member
makanan yang layak, minuman jika dibutuhkan, merawat serta menjaganya
dengan baik, hal ini telah disepakati oleh para fuqoha’[18], kewajiban ini didasari oleh
sebuah hadits dari Ibnu Umar berkata bersabda Rasulullah;
عُذِّبَتْ
امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ فَدَخَلَتْ فِيهَا النَّارَ لَا
هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَلَا سَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ
مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
‘’Seorang
wanita disiksa dalam neraka sebab mengurung seekor kucing sampai mati, dia
tidak memberinya makan, tidak memberinya minuman, dan dia tidak melepaskannya
supaya makan apayang tumbuh dibumi.’’ (HR.Bukhori 3223, dan Muslim 4160)
Berkata Ibnu
Abdil Bar,’’dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan wajibnya member
nafkah binatang piaraan, dan tidak ada perbedaan ulama tentang ini.’’[19]
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah
AL FURQON No. 120 (Edisi 6 TH ke-11, al-Muharram 1433 H) dalam rubrik Fiqh
Islam hal. 34-38
Tulisan
Terkait: Fiqih Sumpah
[1] . Lihat Fiqhul
Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/209, karya Prof. Dr. Abdullah bin Muhammad
al-Muthlaq (anggota Ulama besar dan Komite tetap untuk fatwa KSA), Prof.Dr.
Abdullah bin Muhammad at-Thoyyar, dan Dr. Muhammad bin Ibrohim al-Musa (Anggota
mahkamah agung bagian wakaf wakaf KSA), lihat juga Fiqhus Sunnah karya
as-Sayyid Sabiq 2/266.
[2] . Lihat al-Ijma’ karya
Ibnul Mundzir hlm.78, Marotibul Ijma’ hlm.79, al-Washith karya
al-Ghozali 6/203, dan al-Mughni karya Ibnu Qudamah 9/229, lihat juga Fiqhus
Sunnah karya as-Sayyid Sabiq 2/267-268.
[3] . Permasalahan ini dinyatakan
oleh Imam Ibnul Mundzir dalam al-Ijma’ hlm.78.
[4] . Bada’ius Shonai’
4/18-19, as-Syarhul Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi 2/805, Mughni
Al-Muhtaj 3/435, dan al-Mughni 9/282.
[5] . Lihat perinciannya lebih
lengkap dalam al-Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/211-212.
[6] . Lihat Badi’ as-Shanai’
4/24, al-Bahrur Ra’iq 4/190, dan al-Mugni 9/230.
[7] . Ibnu Qudamah
berkata,’’Setahu kami tidak satupun diantara ulama yang berbeda pendapat
dalam hal ini.’’ (al-Mughni 9/240)
[8] . Lihat al-Mughni 9/236.
[9] . Lihat Hasyiyah Ibnu
Abidin 3/588, as-Syarhul Kabir ma’a Hasyiyah ad-Dasuqi 2/510, Mughni
al-Muhtaj 3/432, dan al-Mughni 9/237.
[10] . Lihat al-Fiqhul
Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/213.
[11] . Ini adalah pendapat ulama
madzhab Hanbali (Lihat al-Mughni 9/288, dan al-Inshaf 9/361)
[12] . Sebagaimana dinukil
kesepakatan ini oleh Ibnul mundzr dalam al-Ijma hlm.78.
[13] . Ini adalah madzhab Hanafi,
lihat Syarh Fathul Qadir 4/389, dan Hasyiyah Ibnu Abidin 3/590.
[14] . Ini adalah pendapat madzhab
Maliki, Syafi’i, dan pendapat yang benar dari madzhab Hanbali, dan ini adalah
pendapat mayoritas ulama, demikian pula pendapat ini diriwayatkan dari Umar bin
Khottob, Ali bin Abi Tholib, Abu hurairah, Sa’id bin Musayyib, Hasan al-Bashri,
dan lainnya (lihat perincian yang lebih lengkap dalam Taudhihul Ahkam min
Bulughil Maram 5/145, Jami’ al-Ummahat li Ibnil Hajib hlm.333,
dan Fiqhul Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/216-217).
[15] . Taudhihul Ahkam min
Bulughil Maram 5/145.
[16] . HR.Nasa’i 1/350, Ibnu Hibban 810, dan
dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 3/322
[17] . Lihat al-Fiqhul
Muyassar/Qismu Fiqhil Usrah 3/221, dan Fatawa Lajnah Da’imah
no.18705.
[18] . Lihat Mukhtashar Ikhtilaf
al-Ulama’ 3/407.
[19] . at-Tamhid 22/9.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar