Secara bahasa sum’ah adalah diperdengarkan kepada orang lain, adapun secara istilah yaitu beribadah dengan benar dan ikhlas karena Allah, kemudian menceritakan amal perbuatannya kepada orang lain[1]. Perbedaan antara riya’ dan sum’ah menurut Al-Hafizh yaitu: riya’ adalah memperlihatkan amal dan perbuatan dengan maksud mendapatkan pujian seperti shalat, adapun sum’ah merupakan amalan yang diperdengarkan kemudian menceritakan perbuatannya (sudah dikerjakan dengan penuh keikhlasan, namun pada akhirnya mengharapkan pujian yang sifatnya duniawi). Perbedaan riya’dan sum’ah ialah: Riya’ berarti beramal karena diperlihatkan kepada orang lain, sedangkan sum’ah beramal supaya diperdengarkan kepada orang lain, Riya’ berkaitan dengan indra mata, sedangkan sum’ah berkaitan dengan indra telinga[2]. Kata sum’ah berasal dari kata samma’a (memperdengarkan). Kalimat samma’an naasa bi ‘amalihi digunakan jika seseorang menampakkan amalnya kepada manusia yang semula tidak mengetahuinya[3].
Definisi
Sum’ah secara Terminologi
Pengertian
sum’ah secara istilah adalah sikap seorang muslim yang membicarakan atau
memberitahukan amal shalihnya, yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyi
kepada orang lain, supaya dirinya mendapatkan kedudukan, penghargaan, atau
mengharapkan keuntungan materi. Syeikh Ahmad Rifa’I dalam kitabnya Ri’ayah
Himmah, Juz 2 menjelaskan:
لَا تَظْهَرِ الْفَضْلَةَ كَا لْعِلْمِ وَالطَّاعَةِ
“Janganlah kalian menunjukkan
keutamaan (kepandaianmu), seperti ilmu dan ketaatan karena banyak melaksanakan
amal sholih kepada orang lain supaya mereka memuliakanmu”.
Dalam makalahnya, beliau menjelaskan
bahwa adakalanya kita menunjukkan ketaatan kita pada orang lain, tetapi dalam
hal-hal tertentu, seperti[4]:
وَأَمَّا إِظْهَارُهَا لِيُقْتَدَى بِهِ وَلِيَرْ غَبَ النَّاسَ فِى
الْخَيْرِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ إِسْرَارِهَا اِنْ أَمَنَ شَوَائِبُ الرِّياَءِ
“Adapun
menunjukkan ketaatan kita kepada orang lain dengan tujuan supaya orang meniru
perbuatan kita (mengajak kepada kebaikan), itu lebih baik (tidak berdosa)
daripada kita menyembunyikannya, tetapi jika dalam hati kita merasa hebat maka akan menjadi
riya’(sombong)”.
أَمَّا عَلىَ الْإِعْتِرَافِ بِالنِّعْمَةِ فَحَسَنْ
“Dan sekiranya kita memperlihatkan
kemuliaan kita (nikmat), sebagai pertanda rasa syukur pada-Nya
maka lebih bagus dan tidak termasuk ke dalam perkara ‘ujub, karena kemuliaan
yang kita dapatkan adalah anugerah Allah[5]”.
Hal ini sejalan dengan firman Allah
SWT:
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
“Dan terhadap nikmat Tuhan-Mu,
hendaklah engkau nyatakan (dengan bersyukur)”.(Q.S. Dhuha: 11).
Ibnu
Hajar Al-Asqalani mengetengahkan pendapat Izzudin
bin Abdussalam yang membedakan antara riya dan sum’ah. Riya’ adalah
sikap seseorang yang beramal bukan untuk Allah (lihat: Definisi
Riya’ Dan Penjelasannya), sedangkan sum’ah adalah sikap
seseorang yang menyembunyikan amalnya untuk Allah, namun kemudian ia bicarakan
hal tersebut kepada manusia. Dengan demikian, dalam pandangannya bahwa semua riya’
tercela, sedangkan sum’ah adalah amal terpuji jika ia melakukannya
karena Allah dan untuk memperoleh ridha-Nya, namun jadi tercela jika dia
bicarakan amalnya di hadapan manusia[6].
Dalam Al-Qur’an Allah telah
mengingatkan kepada kita mengenai sifat sum’ah dan riya’ ini:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُوْا صَدَقَاتِكُمْ
بِالْمَنِّ وَالْاَذَى كَالَّذِىْ يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ …
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia…”
(QS. Al-Baqarah : 264).
Di
dunia ini, ada banyak hamba pilihan yang di
takdirkan oleh Allah sebagai golongan orang-orang yang luhur budi pekertinya,
bagus dalam bertutur kata dan dijauhkan dari sifat riya’ dan sum’ah, salah
satu diantaranya adalah nabi Muhammad SAW yang dijelaskan dalam salah satu
hadisnya:
قَالَ النَّبِيُّ إِنَّا أَكْرَمُ الْأَوَّلِيْنَ
وَالْأَخِرِيْنَ لَا فَخْرَ لَنَا
Rasul
SAW bersabda: “Sesungguhnya aku (Muhammad) adalah yang paling mulia diantara
nabi-nabi yang terdahulu ataupun yang terakhir, dan tidak berdosa (takabbur)
bagiku, karena Allah SWT telah memberikan jaminan sebagai seorang utusan untuk
mengajak kepada jalan kebenaran”.
Hadis
diatas jangan kita fahami secara etimologi, karena nanti akan timbul penafsiran
bahwa rasul SAW menyuruh untuk berbuat riya’ dan sum’ah, tetapi mafhum
mukhalafah dari makna tersiratnya adalah karena keluhuran budi pekerti
beliau jadi secara otomatis dalam hatinya sudah tidak ada penyakit-penyakit
hati (madzmumah).
Kita sebagai umatnya, tidak menutup
kemungkinan bisa sampai dalam tahap kesempurnaan (di jauhkan dari sifat-sifat madzmumah:
penyakit hati), sebagaimana di jelaskan para ulama:
قَالَ الْعُلَمَاءُ وَمَنْ تَحَلَّى ظَاهِرَهُ بِحَلِيِّ الشَّرِيْعَةِ
وَيَغْسِلُ بَاطِنَهُ بِمِيَاهُ الطَّرِيْقَةُ فَقَدْ حَصَلَ بِالْحَقِيْقَةِ
“Barangsiapa
yang secara lahirnya (tingkah laku dan perbuatan) memakai perhiasan syari’at (menebarkan pesona kebaikan), kemudian
membasuh kotoran batinnya dengan air tarikat (hanya kepada Allah ia memohon),
maka ia telah sampai kepada tahap kesempurnaan (meyakini bahwa hakikatnya
segala sesuatu yang ia lakukan mengharap keridhoan-Nya saja)”.
Keserasian
antara syari’at dengan hakikat harus saling berkaitan dan meyakini bahwa
segala anugerah berasal dari Allah SWT, digambarkan ibarat tempat (wadah;bejana)
kosong yang hilang isinya, demikian juga sebaliknya perannya hakikat tanpa
syari’at maka akan rusak dan hilang manfaatnya:
فَالشَّرِيْعَةُ
بِلاَ حَقِيْقَةٍ عَاطِلَهْ
وَالْحَقِيْقَةُ بِلاَ شَرِيْعَةٍ بَاطِلَهْ
F
aktor-Faktor
Penyebab Riya dan Sum’ah.
1. Latar Belakang Kehidupan.
Jika
seorang anak yang tumbuh dalam asuhan sebuah keluarga yang memiliki suasana
atau adat perilaku riya’ dan sum’ah, maka sangat besar
kemungkinan dirinya akan dapat terpengaruhi perilaku semacam itu. Jika penyakit
itu telah bercokol dan lama berurat akar dan mengkristal dalam jiwa, maka akan
sangat sulit untuk mengikisnya. Karena itu, rasulullah selalu menekankan
pentingnya faktor agama sebagai landasan utama dalam memilih calon pasangan
hidup kita.
2. Persahabatan yang Buruk.
Persahabatan
yang buruk hanya akan mengakibatkan sikap riya dan sum’ah, terutama bagi orang
yang lemah pribadi dan mentalnya dan mudah terpengaruhi orang lain, dengan
mengikuti dan meniru teman-temannya, lama kelamaan berakar umbi
dalam jiwanya. Syeikh Ibrahim Bin Sulaiman dalam syarah Ta’lim
al-Muta’allim[7] menjelaskan:
عَنِ
الْمَرْءِ لَا تَسْأَلْ وَأَبْصِرْ قَرِيْنَهُ
فَإِنَّ الْقَرِيْنَ بِالْمُقَارَنِ يَقْتَدِىْ
إِذَاكَانَ
ذَا شَرٍّ فَجَنِّبْهُ
سُرْعَةً وَإِنْ
كَانَ ذَا خَيْرٍ فَقَارِنْهُ تَهْتَدِىْ
“Jangan Tanya seorang tanyakan yang
menemani, karena seseungguhnya kawan ikut yang menemani. Jikalau kamu punya
kawan buruk (sifatnya) cepat jauhi, dan jika kamu punya kawan baik(perilaku)
cepat dekati”.
Sehubungan
dengan hal ini, sebagai muslim, kita dituntut agar selektif dalam
menjalin persahabatan dengan mereka yang baik, menghormati, dan menjalankan
syariah Allah.
3. Tidak Memiliki Hakikat Ma’rifah
kepada Allah.
Karena
tidak mengenal Allah secara hakiki maka dapat menimbulkan sikap riya’ dan
sum’ah, sebab orang yang jahil tidak mampu bersikap yang benar terhadap
Allah. Karena itu, berkembanglah dalam pikirannya bahwa ada sebagian manusia
yang mampu menolak bahaya dan memberi manfaat. Ia bersikap riya dan sum’ah
dalam setiap amalnya dihadapan sekelompok manusia dan yang menurutnya berkuasa
dalam menentukan nasib mereka. Islam selalu menegaskan pentingnya mengenal Allah
sebagai langkah pertama yang harus ditempuh sebelum melakukan segala sesuatu.
Firman-Nya:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah bahwasanya tidak
ada Tuhan selain Allah.” (QS.Muhammad
: 19)
Sifat ini lahir karena dalam dirinya
merasa paling hebat dan suci, maka Allah SWT mengingatkan kepada kita dalam
surat Al-Najm ayat 32:
فَلاَ
تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ
“……, Maka Janganlah kamu menganggap
dirimu suci,….”
Penafsiran ayat diatas diartikan
seperti yang diuraikan oleh Syeikh Ahmad Rifa’i:
أَىْ لاَ
تَمْدِحُوْهَا عَلىَ سَبِيْلِ الْإِعْجَابْ
“Jangan memuji karena merasa lebih
dari segalanya ( yang mengarah kepada perasaan ‘ujub)”
4. Ambisi Memperoleh Kedudukan dan
Kemimpinan.
Inilah salah satu diantara faktor
yang dapat memotivasi timbulnya sikap riya’ dan sum’ah.
Islam menekankan untuk menyeleksi dan menguji seseorang sebelum ia dilimpahi
suatu kepercayaan atau dukungan.
Sebagaimana Firman-Nya:
وَابْتَلُواْ الْيَتَامَى حَتَّىَ إِذَا بَلَغُواْ النِّكَاحَ فَإِنْ
آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُواْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
“Dan ujilah[8] anak yatim itu sampai
mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah
cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya.” (QS. an-Nisaa’ : 6)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ
مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang hijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah
kamu uji (keimanan) mereka.” (QS.
al-Mumtahanah:10)
5. Tamak Terhadap yang Dimiliki
Orang Lain.
Sikap
rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain serta ambisi terhadap harta duniawi
dapat menyebabkan riya atau sum’ah. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Musa
bahwa pada suatu hari rasul SAW ditanya, “Ya Rasulullah, ada seorang yang
berperang untuk memperoleh ghanimah, ada yang ingin disebut-sebut, dan ada yang
ingin posisinya dilihat oleh manusia, yang manakah diantara mereka yang
berperang di jalan Allah?” Rasul SAW bersabda:
“Barangsiapa berperang dengan tujuan
meninggikan kalimat Allah, maka dialah yang berperang di jalan Allah.” (HR. Bukhari)
“Barangsiapa yang pergi berperang
kemudian ia tidak mengharapkan sesuatu kecuali memperoleh tali kendali, maka
baginya apa yang ia niatkan.” (HR.
Nasa’i dan Darimi).
6. Lalai Terhadap Dampak Buruk Riya
dan Sum’ah.
Ketidaktahuan
dan kelalaian seseorang terhadap pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh riya dan
sum’ah dapat menjerumuskan seseorang kepada riya atau sum’ah. Imam
Bukhori dalam shahihnya dalam bab Ar- Riya’ was Sum’ah dengan membawakan
hadits Rasulullah SAW:“Barangsiapa
memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya, dan
barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (dihadapan
manusia pada hari kiamat kelak)”.[9]
Dengan demikian, semoga kita di
jauhkan dari sifat sum’ah dan menjadi insan yang mampu mengamalkan
isyarah qur’an surah Fusshilat ayat 34:
وَمَنْ
أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّنْ دَعَا إِلىَ اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ
إِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Dan siapakah yang lebih baik
perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan
dan berkata: “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)”.
Shollallahu ‘Ala Muhammad Wa Aalihi
[1] Syeikh Ahmad Rifa’i, Riayah
Akhir, Bab Tasawuf, Juz 2, Korasan 23 halaman 2 baris 3
[2] Dr. Sulaiman al-Asyqor, Al
Ikhlas, halaman: 95
[4]
Op.Cit,____________________________, halaman 3 baris 4-5
[5]
Ibid,____________________________, halaman 5 baris 1
[6] Fathul Bari,
Jilid 11 halaman 336
[7] Syeikh Ibrahim Bin
Ismail, Syarah Ta’lim al-Muta’allim, al-haramain, halaman 15
[8] Mengadakan penyelidikan
terhadap mereka tentang keagamaan, usaha-usaha mereka, kelakuan dan lain-lain
sampai diketahui bahwa anak itu dapat dipercaya.
[9] Hadits Riwayat Bukhori
Juz 7, halaman :189 dan Hadits Muslim nomer: 2987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar