Apakah hakikat ‘ain Nadhl- (panah kedengkian) itu? Allah berfirman,
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dan dari keburukan orang yang dengki ketika dengki.” (QS. Al-Falaq: 5).
Apakah hadits Rasul - shollallaahu ‘alaihi wasallam- shahih, yang maknanya, “Sepertiga yang ada dalam kubur mati karena ‘ain”? Apabila seseorang ragu tentang kedengkian salah seorang dari mereka, maka apa yang wajib dikerjakan dan diucapkan oleh seorang muslim? Apakah mengambil bekas mandi orang yang menimpakan ain dan diguyurkan pada orang yang tertimpa dapat menyembuhkan, dan apakah ia meminumnya atau mandi dengannya?
Apakah hadits Rasul - shollallaahu ‘alaihi wasallam- shahih, yang maknanya, “Sepertiga yang ada dalam kubur mati karena ‘ain”? Apabila seseorang ragu tentang kedengkian salah seorang dari mereka, maka apa yang wajib dikerjakan dan diucapkan oleh seorang muslim? Apakah mengambil bekas mandi orang yang menimpakan ain dan diguyurkan pada orang yang tertimpa dapat menyembuhkan, dan apakah ia meminumnya atau mandi dengannya?
Jawaban :
‘ain itu
diambil dari kata ‘Ana Ya’inu, apabila ia menatapnya dengan matanya.
Asalnya dari kekaguman orang yang melihat sesuatu, kemudian diikuti oleh
jiwanya yang keji, kemudian menggunakan tatapan matanya itu untuk
menyampaikan racun jiwanya kepada orang yang dipandangnya. Allah
-subhanahu wata’ala- telah memerintahkan Nabinya, Muhammad -shallallaahu
’alaihi wasallam-, untuk meminta perlindungan dari orang yang dengki.
Allah –subhanahu wata’ala- berfirman:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dan dari keburukan orang yang dengki ketika dengki.” (QS. Al-Falaq: 5).
“Dan dari keburukan orang yang dengki ketika dengki.” (QS. Al-Falaq: 5).
Setiap ‘a’in (orang yang menimpakan ‘ain) adalah hasid (pendengki) dan tidak setiap hasid adalah ‘a’in. Karena hasid itu lebih umum ketimbang ‘a’in, maka meminta perlindungan dari hasid berarti meminta perlindungan dari ‘a’in. Yaitu panah yang keluar dari jiwa hasid dan ‘a’in yang tertuju pada orang yang didengki (mahsud atau ma’in), yang adakalanya menimpanya dan adakalanya tidak mengenainya. Jika ‘ain itu
kebetulan menimpa orang yang dalam keadaan terbuka tanpa pelindung,
maka itu berpengaruh padanya. Sebaliknya, bila ia menimpa kepada orang
yang waspada dan bersenjata, maka panah itu tidak berhasil mengenainya,
tidak berpengaruh padanya. Bahkan barangkali panah itu kembali kepada
pemiliknya (diringkas dari Zad al-Ma’ad).
Banyak hadits-hadits shahih dari Nabi -shallallaahu ’alaihi wasallam- tentang terjangkit dengan ‘ain ini.
Di antaranya apa yang disebutkan dalam Shahihain dari ‘Aisyah -
rodliallaahu’anhu-, ia mengatakan, “Bahwasanya Rasulullah -shallallaahu
’alaihi wasallam- memerintahkan kepadanya supaya meminta diruqyah dari ‘ain.” (HR. Al-Bukhari, no. 5738, kitab ath-Thibb; dan Muslim, no. 2195, kitab as-Salam).
Muslim, Ahmad dan at-Tirmidzi; ia menshahihkannya, dari Ibnu Abbas dari Nabi - shallallaahu ’alaihi wasallam- beliau bersabda, ‘ain adalah nyata, dan seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir niscaya ‘ain mendahuluinya. Jika kalian diminta untuk mandi, maka mandilah.” (HR. Muslim, no. 2188, kitab as-Salam).
Diriwayatkan Imam Ahmad dan at-Tirmidzi; ia menshahihkannya, dari Asma’ binti Umais bahwa ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Bani Ja’far tertimpa ‘ain; apakah aku boleh meminta ruqyah untuk mereka?” Beliau menjawab, “Ya, seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir niscaya ‘ainlah yang mendahuluinya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2059, kitab ath-Thibb; Ahmad dalam al-Musnad, 6/ 438; Ibnu Majah, no. 3510, kitab ath-Thibb; dan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih).
Diriwayatkan Imam Ahmad dan at-Tirmidzi; ia menshahihkannya, dari Asma’ binti Umais bahwa ia mengatakan, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Bani Ja’far tertimpa ‘ain; apakah aku boleh meminta ruqyah untuk mereka?” Beliau menjawab, “Ya, seandainya ada sesuatu yang mendahului takdir niscaya ‘ainlah yang mendahuluinya.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2059, kitab ath-Thibb; Ahmad dalam al-Musnad, 6/ 438; Ibnu Majah, no. 3510, kitab ath-Thibb; dan at-Tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan shahih).
Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah -rodhiallaahu’anha-, ia mengatakan, “Orang yang menimpakan ‘ain diperintahkan supaya berwudhu, kemudian orang yang tertimpa ‘ain mandi darinya.” (HR. Abu Daud, no.3880, kitab ath-Thibb). Imam Ahmad, Malik, an-Nasa?i dan Ibnu Hibban; ia menshahihkannya, meriwayatkan dari Sahl bin Hanif :
“Bahwa
Rasulullah -shallallaahu ’alaihi wasallam- keluar beserta orang-orang
yang berjalan bersamanya menuju Makkah, hingga ketika sampai di daerah
Khazzar dari Juhfah, Sahl bin Hanif mandi. Ia seorang yang berkulit
putih serta elok tubuh dan kulitnya. Lalu Amir bin Rabi`ah, saudara Bani
Adi bin Ka`b melihatnya, dalam keadaan sedang mandi, seraya mengatakan,
‘Aku belum pernah melihat seperti hari ini kulit yang disembunyikan.’
Maka Sahl pingsan. Lalu ia dibawa kepada Nabi -shallallaahu ’alaihi
wasallam- lantas dikatakan kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, mengapa
Shal begini. Demi
Allah, ia tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula siuman.’ Beliau
bertanya, ‘Apakah kalian mendakwa seseorang mengenainya?’ Mereka
menjawab, ‘Amir bin Rabi’ah telah memandangnya.’
Maka beliau -shallallaahu ’alaihi wasallam- memanggil Amir dan
memarahinya, seraya bersabda, ‘Mengapa salah seorang dari kalian
membunuh saudaranya. Mengapa ketika kamu melihat sesuatu yang
mengagumkanmu, kamu tidak mendoakan keberkahan
(untuknya)?’ Kemudian beliau bersabda kepadanya, ‘Mandilah untuknya.’
Lalu ia membasuh wajahnya, kedua tangannya dan kedua sikunya, kedua
lututnya dan ujung kedua kakinya, dan bagian dalam sarungnya dalam suatu
bejana. Kemudian air itu diguyurkan di atasnya, yang diguyurkan oleh
seseorang di atas kepalanya dan punggungnya dari belakangnya. Ia
meletakkan bejana di belakangnya. Setelah melakukan demikian, Sahl
bangkit bersama orang-orang tanpa merasakan sakit lagi.” (HR. Muslim,
no. 2188, kitab as-Salam).
Jumhur ulama menetapkan bahwa ‘ain itu
bisa menimpa, berdasarkan hadits-hadits yang telah disebutkan dan
selainnya, karena bisa disaksikan dan fakta. Adapun hadits yang anda
sebutkan, “Sepertiga manusia yang berada dalam kubur mati karena ‘ain,” maka kami tidak mengetahui keshahihannya. Tetapi penulis Nail al-Authar
menyebutkan bahwa al-Bazzar mengeluarkan dengan sanad hasan dari Jabir
radhiAllahu’anhu dari Nabi -shallallaahu ’alaihi wasallam-, beliau
bersabda,
“Kebanyakan orang yang mati dari umatku, setelah qadha Allah dan qadarNya, karena Anfus.” (HR. Ath-Thayalisi dalam Musnadnya, no. 1760; ath-Thahawi dalam al-Musykil dan al-Bazzar; serta dihasankan oleh al-Hafizh dalam al-Fath, 10/ 167; dalam as-Silsilah ash-Shahihah, no. 747).
Yakni,
karena ‘ain. Kewajiban atas setiap muslim ialah membentengi dirinya
dari setan dan dari kejahatan jin dan manusia, dengan kekuatan iman
kepada Allah, ketergantungan dan tawakalnya kepadaNya, berlindung dan tadharru’ kepadaNya, ta’awwudz nabawiyah, serta banyak membaca Mu’awwidzatain, surah al-Ikhlas, Fatihatul kitab, dan ayat Kursi. Di antara ta’awwudz ialah:
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan apa yang diciptakanNya.”
“Aku
berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari murkaNya dan
siksaNya, dari keburukan hamba-hambaNya, dari bisikan-bisikan setan,
dan bila mereka datang.”
Juga firman Allah,
حَسْبِيَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
حَسْبِيَ اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
“Cukuplah
Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku
bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.” (QS. At-Taubah: 129).
Dan
doa-doa sejenisnya yang disyariatkan. Ini adalah makna pembicaraan
Ibnul Qayyim yang disebutkan di awal jawaban. Jika diketahui bahwa
seseorang telah menimpakan ‘ain kepada orang lain, atau seseorang diragukan bahwa ia menimpakan ‘ain, maka orang yang menimpakan ‘ain diperintahkan
supaya mencuci wajahnya dalam bejana, kemudian memasukkan tangan
kirinya lalu mengguyurkan pada lutut kanannya dalam bejana, kemudian
memasukkan tangan kanannya lalu mengguyur lutut kirinya, kemudian
mencuci kainnya, kemudian diguyurkan pada kepala orang terkena ‘ain dari belakangnya sekali guyuran, maka ia akan sembuh dengan seizin Allah.
Hanya
Allah-lah yang memberi taufik. Semoga shalawat dan salam Allah
limpahkan atas Nabi kita, Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar