Senin, 16 September 2013

Bolehkah Pacaran ???



Segala puji hanya milik Allah ‘Azza wa Jalla. Hanya kepada-Nya kita memuji, meminta tolong, memohon ampunan, bertaubat dan memohon perlindungan atas kejelekan-kejelekan diri dan amal-amal yang buruk. Barangsiapa yang diberi Allah petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesesatkannya dan barangsiapa yang Allah sesatkan maka tidak ada yang dapat memberikannya hidayah taufik. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan tiada sekutu baginya. Aku bersaksi bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hambaNya dan UtusanNya. Shalawat serta salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para sahabatnya ridwanulloh ‘alaihim jami’an.

Adalah suatu hal yang telah menyebar luas dikalangan masyarakat sebuah kebiasaan yang terlarang dalam islam namun sadar tak sadar telah menjadi suatu hal yang sangat sering kita lihat bahkan sebahagian orang menganggapnya adalah suatu hal yang boleh-boleh saja, kebiasan tersebut adalah apa yang disebut sebagai pacaran. Oleh karena itu maka penulis mencoba untuk memaparkan sedikit tinjauan islam tentang hal ini dengan harapan penulis dan pembaca sekalian dapat memahami bagaimana islam memandang pacaran serta kemudian dapat menjauhinya.

Pacaran yang dikenal secara umum adalah suatu jalinan hubungan cinta kasih antara dua orang yang berbeda jenis yang bukan mahrom dengan anggapan sebagai persiapan untuk saling mengenal sebelum akhirnya menikah[1].

Inilah mungkin definisi pacaran yang banyak tersebar dikalangan muda-mudi. Maka atas dasar inilah kebanyakan orang menganggap bahwa hal ini adalah suatu yang boleh-boleh saja, bahkan lebih parahnya lagi dianggap aneh kalau menikah tanpa pacaran terlebih dahulu –wal ‘iyyadzubillah –. Lalu jika demikian bagaimanakah tinjauan islam tentang hal ini? Berikut penulis coba jelaskan sedikit kepada pembaca –sesuai dengan ilmu yang sampai kepada penulis– bagaimana islam memandang pacaran.

Pacaran adalah suatu yang sudah jelas keharamannya dalam islam, dalil tentang hal ini banyak sekali diantaranya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla :

وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan”. (Al Isra’ [17] : 32).

Ayat ini adalah dalil tegas yang menunjukkan haramnya pacaran. Apa saja perbuatan yang tergolong MENDEKATI ZINA itu?
Diantaranya adalah:

saling memandang, merajuk atau manja, bersentuhan (berpegangan tangan, berpelukan, berciuman, dll), berdua-duaan, dll.

Karena unsur-unsur ini dilarang dalam agama Islam, maka tentu saja hal-hal yang di dalamnya terdapat unsur tersebut adalah dilarang. Termasuk aktifitas yang namanya
"PACARAN"

Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam hadits berikut:
Dari Ibnu Abbas r.a. dikatakan: "Tidak ada yang ku perhitungkan lebih menjelaskan tentang dosa-dosa kecil dari pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shalallahu ;alaihi wasallam  bersabda:

"Allah telah menentukan bagi anak Adam bagiannya dari zina yang pasti dia
lakukan. Zinanya mata adalah melihat (dengan syahwat), zinanya lidah adalah mengucapkan (dengan syahwat), zinanya hati adalah mengharap dan menginginkan (pemenuhan nafsu syahwat), maka farji (kemaluan) yang membenarkan atau mendustakannya."
 
(HR. Al-Bukhari dan Imam Muslim)

Ada beberapa hal dampat negative dari pacaran sebelum menikah adalah:
Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina

Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran.

Kedua: Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan

Padahal Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,

قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,

سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.

“Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[2]

Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ


“Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3] Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).

Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina

Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[4]

Berkaitan dengan ayat:
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan”. (Al Isra’ [17] : 32).

seorang ahli tafsir Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah- mengatakan dalam tafsirnya,

Larangan mendekati suatu perbuatan nilainya lebih daripada semata-mata larangan melakukan suatu perbuatan karena larangan mendekati suatu perbuatan mencakup larangan seluruh hal yang dapat menjadi pembuka/jalan dan dorongan untuk melakukan perbuatan yang dilarang”.
Kemudian Beliau –rahimahullah- menambahkan sebuah kaidah yang penting dalam hal ini,
Barangsiapa yang mendekati suatu perbuatan yang terlarang maka dikhawatirkan dia terjatuh pada suatu yang dilarang[2].

Hal senada juga sebelumnya dikatakan penulis Tafsir Jalalain demikian juga Asy Syaukanirahimahullah- namun Beliau menambahkan, “Jika suatu yang haram itu telah dilarang maka jalan menuju keharaman tersebut juga dilarang dengan melihat maksud pembicaran[3]

Bahkan diakatakan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaiminrahimahullah-,termasuk dalam ayat ini larangan melihat wanita yang bukan istrinya (yang tidak halal baginya, pen.), mendengarkan suaranya, menyentuhnya, sama saja apakah ketika itu dia sengaja untuk bersenang-senang dengannya ataupun tidak”[4].

 Dari penjelasan para ulama ini jelaslah bahwa pacaran dalam islam hukumnya haram karena pacaran termasuk dalam perkara menuju zina yang Allah haramkan ummat nabiNya untuk mendekatinya.
Jika ada yang mengatakan bahwa pacaran belumlah dapat dikatakan sebagai perbuatan menuju zina, maka kita katakan kepadanya bukankah orang yang paling tahu tentang perkara yang dapat mendekatkan ummatnya ke surga dan menjauhkannya dari api neraka telah mengatakan :

وَ احْفَظُوْا فُرُوْجَكُمْ وَ غَضُّوْا أَبْصَارَكُمْ وَ كَفُّوْا أَيْدِيَكُمْ

Jagalah kemaluan kalian, tundukkanlah pandangan-pandangan kalian dan tahanlah tangan-tangan kalian”.[5]

Dalam hadits yang mulia ini terdapat perintah untuk menundukkan pandangan dan
hukum asal dari suatu perintah baik itu perintah Allah ‘Azza wa Jalla ataupun perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan adanya tunututan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan dengan segera[6].

Maka jelaslah bahwa pacaran adalah suatu yang diharamkan dalam islam.
Kemudian jika ada yang mengatakan kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal?

Maka kita katakan pada orang yang beralasan demikian dengan jawaban yang singkat namun tegas bukankah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk? Bukankah Beliau adalah orang yang paling kasih kepada ummatnya tidak memberikan petunjuk yang demikian? Firman Allah ‘Azza wa Jalla,

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, amt berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”. (At Taubah [9] : 128).

Kata حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ pada ayat di atas ditafsirkan oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dirahimahullah- berarti bahwa, “Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang mencintai kebaikan kepada kita ummatnya, mengerahkan seluruh kesungguhannya dalam rangka menyampaikan kebaikan kepada mereka, bersemangat untuk dapat memberikan hidayah (irsyad, pent.) berupa iman kepada mereka, tidak suka jika kejelekan menimpa mereka dan menegerahkan seluruh usahanya untuk menjauhkan mereka dari kejelekan[7]

Dengan demikian ayat di atas jelas menunjukkan bahwa Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling kasih pada ummatnya dan paling menginginkan kebaikan untuk mereka namun Beliau tidaklah mengajarkan kepada ummatnya yang demikian. Simak pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبِىٌّ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ

Sesungguhnya tidak ada Nabi sebelumku kecuali wajib baginya menunjukkan kepada umatnya kebaikan yang dia ketahui untuk umatnya, dan mengingatkan semua kejelekan yang dia ketahui bagi umatnya…”.[8]

Maka hendak kemanakah lari orang yang berpendapat kalau seandainya pacaran tidak dibolehkan maka bagaimanakah dua orang insan bisa menikah padahal mereka belum saling kenal? Bukankah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan dan mempraktekkan bagaimana tatacara menuju pernikahan? Apakah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengajarkan kepada kita  cara mencari pasangan hidup dengan pacaran? Wahai pengikut hawa nafsu hendak kemanakah lagi engkau palingkan sesuatu yang telah jelas dan gamblang ini ??!!! 

Kalau seandainya yang demikian dapat mengantarkan kepada kebaikan tentulah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkannya kepada kita.

Sebagai penutup kami nukilkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang posisi shaf laki-laki dan perempuan dalam sholat, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan :

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama, sejelek-jeleknya adalah yang paling akhir dan Sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling akhir, sejelek-jeleknya adalah adalah yang paling awal”.[9]

Maka renungkan wahai saudaraku
apakah lebih layak orang –bukan suami istri­­– yang tidak sedang dalam keadaan beribadah kepada Allah untuk berdekatan, berdua-duan dan bermesra-mesraan serta merasa aman dari perbuatan menuju zina padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia mengatakan yang demikian !!!??
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan :

ما نَهَيتُكُمْ عَنْهُ ، فاجْتَنِبوهُ

“Semua perkara yang aku larang maka jauhilah”[10]

Allahu Ta’ala a’lam bish showaab, mudah-mudahan yang sedikit ini dapat menjadi renungan bagi orang-orang yang masih melakukannya dan bagi kita yang tidak mudah-mudahan Allah jaga anak keturunan kita darinya.

[1] Jika tujuannya seperti ini saja terlarang bagaimana jika tidak dengan tujuan yang demikian semisal hanya ingin berbagi rasa duka dan bahagia ??!! Tentulah hukumnya lebih layak untuk dikatakan haram.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 431 terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[3] Lihat Fathul Qodhir hal. 258, terbitan Maktabah Syamilah.
[4] Lihat Syarh Al Kabair hal. 60 terbitan Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut, Lebanon.
[5] HR. Ibnu Khuzaimah no. 91/III, Ibnu Hibban no. 107, Al Hakim no. 358-359/IV, Ahmad no. 323/V, Thobroni no. 49/I dan Baihaqi no. 47/II, dan dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no. 1525.
[6] Lihat Ushul Min Ilmi Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin –rahimahullah- hal. 24 terbitan Darul Aqidah Iskandariyah, Mesir.
[7] Lihat Taisir Karimir Rahman fi Tafsiri Kalaamil Mannan hal. 334 terbitan Dar Ibnu Hazm Beirut, Libanon.
[8] HR. Muslim no. 1844 dari jalan Ibnu Amr radhiyallahu ‘anhu.
[9] HR. Muslim no. 132 dan lain-lain.
[10] HR. Bukhori no. 7288, Muslim no. 1337.




Tata Cara Adzan dan Iqomah



Adzan dan Iqomah merupakan di antara amalan yang utama di dalam Islam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda :

“Imam sebagai penjamin dan muadzin (orang yang adzan) sebagai yang diberi amanah, maka Allah memberi petunjuk kepada para imam dan memberi ampunan untuk para muadzin” [1]

Berikut sedikit penjelasan yang berkaitan dengan tata cara adzan dan iqomah.

Pengertian Adzan
Secara bahasa adzan berarti pemberitahuan atau seruan. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat At Taubah Ayat 3:

 وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ

“dan ini adalah seruan dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia”
Adapun makna adzan secara istilah adalah seruan yang menandai masuknya waktu shalat lima waktu dan dilafazhkan dengan lafazh-lafazh tertentu. [2]

Hukum Adzan
Ulama berselisih pendapat tentang hukum Adzan. Sebagian ulama mengatakan bahwa hukum azan adalah sunnah muakkad, namun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan hukum adzan adalah fardu kifayah[3]. Akan tetapi perlu diingat, hukum ini hanya berlaku bagi laki-laki. Wanita tidak diwajibkan atau pun disunnahkan untuk melakukan adzan[4].
Syarat Adzan[5]

1.      Telah Masuk Waktu Shalat
Syarat sah adzan adalah telah masuknya waktu shalat, sehingga adzan yang dilakukan sebelum waktu solat masuk maka tidak sah. Akan tetapi terdapat pengecualian pada adzan subuh. Adzan subuh diperbolehkan untuk dilaksanakan dua kali, yaitu sebelum waktu subuh tiba dan ketika waktu subuh tiba (terbitnya fajar shadiq). [6]

2.      Berniat adzan
Hendaknya seseorang yang akan adzan berniat di dalam hatinya (tidak dengan lafazh tertentu) bahwa ia akan melakukan adzan ikhlas untuk Allah semata.

3.      Dikumandangkan dengan bahasa arab
Menurut sebagian ulama, tidak sah adzan jika menggunakan bahasa selain bahasa arab. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ulama dari Madzhab Hanafiah, Hambali, dan Syafi’i.

4.      Tidak ada lahn dalam pengucapan lafadz adzan yang merubah makna
Maksudnya adalah hendaknya adzan terbebas dari kesalahan-kesalahan pengucapan yang hal tersebut bisa merubah makna adzan. Lafadz-lafadz adzan harus diucapkan dengan jelas dan benar.

5.      Lafadz-lafaznya diucapkan sesuai urutan
Hendaknya lafadz-lafadz adzan diucapkan sesuai urutan sebagaimana dijelaskan dalam hadits-hadits yang sahih. Adapun bagaimana urutannya akan dibahas di bawah.

6.      Lafadz-lafadznya diucapkan bersambung
Maksudnya adalah hendaknya antara lafazh adzan yang satu dengan yang lain diucapkan secara bersambung tanpa dipisah oleh sebuah perkataan atau pun perbuatan di luar adzan. Akan tetapi diperbolehkan berkata atau berbuat sesuatu yang sifatnya ringan seperti bersin.

7.      Adzan diperdengarkan kepada orang yang tidak berada di tempat muadzin
Adzan yang dikumandangkan oleh muadzin haruslah terdengar oleh orang yang tidak berada di tempat sang muadzin melakukan adzan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengeraskan suara atau dengan alat pengerasa suara.

Sifat Muadzin

1.      Muslim
Disyaratkan bahwa seorang muadzin haruslah seorang muslim. Tidak sah adzan dari seorang yang kafir. [7]

2.      Ikhlas hanya mengharap wajah Allah
Sepatutnya seorang muadzin melakukan adzan dengan niat ikhlas mengaharap wajah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda : “Tetapkanlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya itu.”[8]

3.      Adil dan amanah
Yaitu hendaklah muadzin adil dan amanah dalam waktu-waktu shalat.

4.      Memiliki suara yang bagus
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda kepada sahabat Abdullah bin Zaid: “pergilah dan ajarkanlah apa yang kamu lihat (dalam mimpi) kepada Bilal, sebab ia memiliki suara yang lebih bagus dari pada suaramu” [9]

5.      Mengetahui kapan waktu solat masuk
Hendaknya seorang muadzin mengetahui kapan waktu solat masuk sehingga ia bisa mengumandangkan adzan tepat pada awal waktu dan terhindar dari kesalahan. [10]

Sifat Adzan [11]
Terdapat tiga cara adzan, yaitu :
  1. Adzan dengan 15 kalimat, yaitu dengan lafazh [12]:
4x اَللهُ اَكْبَرُاَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ ×2
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ ×2
حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ ×2
حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ ×2
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ

Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh abu hanifah dan imam ahmad.
  1. Adzan dengan 19 kalimat [13], yaitu sama seperti adzan cara  pertama akan tetapi ditambah dengan tarji’ (pengulangan) pada syahadatain. Tarji’ adalah mengucapkan syahadatain dengan suara pelan –tetapi masih terdengar oleh orang-orang yang hadir- kemudian mengulanginya kembali dengan suara keras. Jadi lafazah “asyhadu alla ilaaha illallaah”dan“asyhadu anna muhammadarrasulullah”masing-masing diucapkan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
  2.  
  3. Adzan dengan 17 kalimat, yaitu sama dengan cara adzan kedua akan tetapi takbir pertama hanya diucapkan dua kali, bukan empat kali. Adzan seperti ini adalah cara yang dipilih oleh Imam Malik dan sebagian Ulama’ Madzhab Hanafiah. Akan tetapi menurut penulis Shahiq Fiqh Sunnah, hadits yang menjelaskan kaifiyat ini adalah hadits yang tidak sahih. Sehingga adzan dengan cara ini tidak disyariatkan.
Yang Dianjurkan bagi Muadzin

1.      Adzan dalam keadaan suci
Hal ini berdasarkan dalil-dalil umum yang menganjurkan agar manusia dalam keadaan suci ketika berdizikir (mengingat) kepada Allah.

2.      Adzan dalam keadaan berdiri
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salamdalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar : “berdiri wahai bilal! Serulah manusia untuk melakukukan solat!”

3.      Adzan menghadap kiblat

4.      Memasukkan jari ke dalam telinga
Ini adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh sahabat Bilal ketika adzan. [14]

5.      Menyambung tiap dua-dua takbir
Maksudnya adalah menyambungkan kalimat Allahu akbar-allahu akbar, tidak dijeda antara keduanya. [15]
6.      Menolehkan kepala ke kanan ketika mengucapakan “hayya ‘alas shalah”dan menolehkan kepala ke kiri ketika mengucapakan “hayya ‘alal falah”. [16]

7.      Menambahkan “ash shalatu khairum minannaum” pada azan subuh. [17]

Pengertian Iqamah
Iqamah secara istilah maknanya adalah pemberitahuan atau seruan bahwa sholat akan segera didirikan dengan menyebut lafazh-lafazh khusus. [18]

Hukum Iqamah
Hukum iqamah sama dengan hukum adzan, yaitu fardu kifayah. Dan hukum ini juga tidak berlaku untuk wanita. [19]

Sifat Iqamah
Ada dua cara iqamah [20]:
1. Dengan sebelas kalimat [21], yaitu :
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
1x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
1x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
1xحَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2xقَدْ قَامَتِ الصَّلاَةِ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ

2. Dengan tujuh belas kalimat [22], yaitu :
 4xاَللهُ اَكْبَرُ
2x اَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ
2x اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ
2x حَيَّ عَلَي الصَّلاَةِ
2x حَيَّ عَلَي الْفَلاَحِ
2x قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةِ
2x اَللهُ اَكْبَرُ
1x لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ

Apakah yang Melaksanakan Iqamah Harus Orang yang Mengumandangkan Adzan?
Sebagian besar ulama’ mengatakan hukumnya adalah hanya anjuran dan tidak wajib, sebagaimana kebiasaan Sahabat Bilal, beliau yang adzan beliau pula yang iqamah. Dan boleh hukumnya jika yang adzan dan iqamah berbeda. [23]

Hukumnya makruh/dibenci, pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ashhab madzhab syafi'i, diantaranya Syekh Abu Hamid Al-Juwaini dan Imam Al-Baghowi. Mereka mendasarkan pendapatnya pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jabir rodhiyallohu 'anhu ;

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: " نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَكُونَ الْإِمَامُ مُؤَذِّنًا
"Dari Jabir bin Abdulloh, ia berkata : "Rosululloh shollallohu 'alaihi wasallam melarang yang menjadi imam adalah orang yang adzan". ( Sunan Kubro Lil-Baihaqi, no.2040 )

Catatan Kaki
[1] Hadits shahih diriwayatkan oleh Abu Dawud (1203), At Tirmidzi (207), dan Ahmad (II/283-419)
[2] Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 84,  cetakan Maktabah Al Asadi, Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[3] Diantara ulama yang berpendapat bahwa hukum adzan adalah fardu kifayah adalah sebagian Ulama’ Mazhab Malikiyah dan Syafi’iah, Imam Ahmad, Atha’ bin Abi Robah, Mujahid, Al Auza’i, Ibnu Hazm, dan Ibnu Taimiyah. Sedangkan ulama’ yang berpendapat hukumnya adalah sunnah muakkad adalah Imam Abu Hanifah, sebagian Ulama’ Madzhab Syafi’iah dan Malikiyah. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 240,karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[4] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Al Baihaqi dari Sahabat Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda “Tidak ada adzan dan iqomah bagi wanita
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I,halaman 243, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[6] Ulama’ berselisih pendapat tentang hukum adzan sebelum waktu subuh tiba. Pendapat yang benar adalah hal tersebut dianjurkan. Ulama’ yang berpendapat bahwa hal tersebut dianjurkan diantaranya adalah Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq, Abu Tsauri, Abu Yusuf, dan Ibnu Hazm.
[7] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 605, karya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[8] Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud (531), At Tirmidzi (672), Ibnu Majah (714), dan An Nasa-i (672)
[9] Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[11] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 247, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[12]Hadits Hasan diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[13] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzuroh yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4).
[14] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At Tirmidzi (197) dan Ahmad (IV/308).
[15] Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Umar bn Khattab oleh Imam Muslim (385) dan Abu Dawud (523).
[16] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Imam Bukhari (187) dan Muslim (503) dari Sahabat Abu Juhaifah.
[17] Berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad (16043), Abu Dawud (499),  At Tirmidzi (189), dan Ibnu Khuzaimah (386) dari Sahabat Anas bin Malik.
[18] Lihat Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[19] Ulama’ yang berpendapat bahwa adzan hukumnya adalah fardu kifayah maka mereka juga berpendapat iqomah hukumnya adalah fardu kifayah. Begitu juga dengan ulama’ yang berpendapat bahwa adzan itu sunnah muakkad, maka iqomah juga sunnah muakkad. Lihat Taisirul ‘Alam Syarah ‘Umdatul Ahkam, hal 85,  cetakan Maktabah Al Asadi dan Taudihul Ahkam Syarah Bulughul Marom, Cetakan Darul Mayman, Jilid I, halaman 573, keduanya Karya Syaikh Abdullah Al Bassam.
[20] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 254, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.
[21] Berdasarkan hadits hasan yang diriwayatkan oleh Abu Daud (499), At Tirmidzi (189), Ibnu Majah (706), dan lain-lain.
[22] Hal ini berdasarkan sebuah hadits hasan dari Sahabat Abi Mahdzurah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (500-503), At Tirmidzi (192), Ibnu Majah (709), dan An Nasa’i (II/4)
[23] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, cetakan Darut Taufiqqiyyah Litturotsi, Jilid I, halaman 255, karya Syaikh Kamal bin As Sayid Salim.

Catatan editor
  1. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa kita disunnahkan melatunkan adzan dengan suara yang baik dan hukum melagukan adzan itu makruh. (Demikian perkataan beliau dari durus  Al Muntaqa Al Akhbar ketika menjelaskan masalah Adzan). Karena melagukan adzan sering terjadi lahn (kesalahan dalam pengucapan). Wallahu a’lam.