Dalam pengertian banyak orang, zuhud adalah
menghindari hal-hal yang bersifat keduniaan. Mereka tidak mengerti, mana
perkara-perkara duniawi yang tercela, yang harus ditinggalkan, dan mana yang
boleh didekati. Sehingga iblis berkesempatan mempermainkan mereka.
Lahirlah anggapan bahwa seseorang tidak akan
selamat akhiratnya, kecuali jika meninggalkan dunia seisinya. Kalau perlu
menyendiri di suatu tempat terpencil, khusus untuk melakukan peribadatan kepada
Allâh Ta'ala. Meskipun dengan meninggalkan keluarga, orang tua dan bahkan
shalat berjama’ah serta shalat Jum’at. Sebagian orang menganggap, inilah zuhud
yang hakiki. Persepsi semacam ini muncul lantaran kedangkalan terhadap ilmu
agama.[1]
Orang awam yang jenuh dengan gemerlap dunia,
atau muak melihat kepalsuan serta tipu muslihat dunia dan ingin mendapatkan
ketenteraman rohani, mungkin akan mudah terperangkap dalam pengertian zuhud di
atas. Ia akan lahap untuk mendengarkan secara salah ayatayat, hadits-hadits
serta ceramah-cermah yang berisi celaan terhadap dunia. Asal berbau dunia,
semuanya buruk dan negatif. Akhirnya akan berasumsi bahwa keselamatan akhirat
hanya dapat diraih dengan meninggalkan dunia, meningalkan pekerjaan dan
bermalas-malasan dengan dalih ibadah.
MAKNA ZUHUD[2]
Sebenarnya Apa
Dan Bagaimana Zuhud Itu?
Zuhud secara bahasa adalah lawan kata gemar.
Gemar merupakan suatu bentuk keinginan. Sedangkan zuhud adalah hilangnya
keinginan terhadap sesuatu, baik disertai kebencian ataupun hanya sekedar
hilang keinginan[3]
Zuhud Menurut
Pengertian Syari’at.
Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi
mengatakan, bahwa pengertian zuhud yang paling sempurna dan paling tepat adalah
pengertian yang dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh.
Syaikhul Islam rahimahullâh mengatakan,
zuhud yang disyari’atkan ialah meninggalkan rasa gemar terhadap apa yang tidak
bermanfaat bagi kehidupan akhirat. Yaitu terhadap perkara mubah yang berlebihan
dan tidak dapat digunakan untuk membantu berbuat ketaatan kepada Allâh Ta'ala,
disertai sikap percaya sepenuhnya terhadap apa yang ada di sisi Allâh Ta'ala.[4]
TINGKATAN ZUHUD
Pertama. Zuhud wajib bagi setiap muslim. Yaitu zuhud
terhadap perkara haram. Yakni dengan cara meninggalkannya.
Kedua. Zuhud yang bersifat sunnah (mustahabbah).
Yaitu zuhud terhadap perkara-perkara makruh dan perkara-perkara mubah yang
berlebihan. Maksudnya, perkara mubah yang melebihi kebutuhan, baik makan,
minum, pakaian dan semisalnya.
Ketiga. Zuhud orang-orang yang berpacu ketika
berjalan menuju Allâh Ta'ala. Zuhud pada tingkat ini ada dua macam:
1.
Zuhud terhadap dunia secara umum. Maksudnya
bukan mengosongkan tangan menjadi menghampa dari dunia, dan bukan pula membuang
dunia. Tetapi maksudnya, menjadikan hati kosong secara total dari hal-hal yang
serba bersifat duniawi. Sehingga hati tidak tergoda oleh dunia. Dunia tidak
dibiarkan menempati hatinya, meskipun kekayaan dunia berada di tangannya. Hal
ini, seperti keadaan para khulafa’ur rasyidun dan Umar bin Abdul Aziz.
Orang-orang yang zuhudnya menjadi panutan, meskipun kekayaan harta benda ada di
tangannya. Begitu pula keadaan manusia terbaik, yaitu Nabi Muhammad Shallallâhu
'Alaihi Wasallam. Ketika dunia ditaklukkan oleh Allâh untuk Beliau, malah
menjadikan Beliau semakin zuhud terhadap dunia.
2.
Zuhud terhadap diri sendiri. Ini merupakan
zuhud yang terberat.
Keempat. Zuhud terhadap perkara
syubhat. Yaitu dengan cara meninggalkan perkara yang belum jelas bagi
seseorang, apakah halal atau haram. Inilah zuhudnya orang-orang yang wara’
(menjaga kehormatan).[6]
Berkaitan dengan zuhud terhadap persoalan
duniawi, maka perlu diterangkan secara lebih rinci. Sebab orang-orang sufi
dapat memaksudkan zuhud tersebut dengan melupakan makhluk, tidak mau memandang makhluk
atau mengingkari keberadaan makhluk. Semua ini adalah salah.
Jadi zuhud terhadap dunia, seperti dikatakan
oleh Imam Ibnu Al Qoyyim rahimahullâh di atas, tidak berarti
mengosongkan tangan menjadi hampa dari harta. Tetapi zuhud itu terletak di
dalam hati. Yakni, agar hati tidak tergantung pada cinta dunia. Namun
ketergantungannya hanya kepada Allâh Ta'ala saja dengan cara taat kepada-Nya,
baik ia memiliki kesenangan duniawi ataupun tidak. Kadang, zuhud itu bisa
terjadi bersama dengan kekayaan atau bersama dengan kemiskinan.
Para nabi terdahului juga zuhud meskipun kaya
raya. Misalnya Nabi Dawud 'alaihissalam dan Nabi Sulaiman 'alaihissalam.
Nabi Muhammad Shallallâhu 'Alaihi Wasallam juga terkenal sebagai orang
yang jauh lebih baik dari lembutnya angin sepoi yang berhembus. Sebagaimana
tersebut dalam hadits shahih Muslim, Kitab al-Fadha’il, Bab Kaana an Nabiyyu n
ajwadan Naasi bil Khair min ar Riihi al Mursalati. Beliau Shallallâhu
'Alaihi Wasallam terkenal tidak pernah menolak orang yang meminta-minta.
Begitu pula Abu Bakar, Utsman dan Abdurrahman bin Auf radhiyallâhu'anhum.
Mereka adalah orang-orang zuhud, padahal mereka dikenal sebagai sahabat yang
kaya raya.
HAL-HAL YANG
DAPAT MELURUSKAN ZUHUD
Dalam masalah
zuhud terhadap dunia, Imam Ibnu Al Qoyim rahimahullâh menjelaskan,[7] zuhud ini bisa diluruskan dengan tiga hal:
Pertama. Hendaknya seorang muslim memahami bahwa dunia
hanyalah bayang-bayang dan khayalan yang akan lenyap.
Dunia hanyalah
sebagaimana firman Allâh Ta'ala:
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia
hanyalah permainan,
sesuatu yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan
di antara kamu dan ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak.
Laksana hujan yang tanam-tanamannya membuat kagum para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering,
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat nanti ada azab yang keras
dan ada ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
(Qs Al-Hadid/57 : 20)
sesuatu yang melalaikan, perhiasan, ajang berbangga-banggaan
di antara kamu dan ajang berbanyak-banyakan dalam harta dan anak.
Laksana hujan yang tanam-tanamannya membuat kagum para petani,
kemudian tanaman itu menjadi kering,
dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.
Dan di akhirat nanti ada azab yang keras
dan ada ampunan dari Allâh serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
(Qs Al-Hadid/57 : 20)
Juga sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat.
Allâh Ta'ala menyebut kehidupan dunia sebagai kesenangan yang menipu, dan Allâh
Ta'ala melarang, agar hambaNya tidak tertipu dengan dunia serta menceritakan
akibat buruk bagi orang-orang yang tertipu dengan dunia.
Kedua. Hendaknya seorang muslim memahami bahwa di
belakang dunia ada negeri (kehidupan) yang lebih besar dan lebih agung
kedudukannya. Itulah negeri abadi. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
menggambarkan perbandingan antara dunia dan akhirat dengan sabdanya:
Demi Allâh, tidaklah dunia dibandingkan akhirat
kecuali laksana seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini
(Perawi yang bernama Yahya bin Sa’id mengisyaratkan dengan jari telujuknya)
ke dalam sungai.
Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu. [8]
kecuali laksana seseorang di antara kamu mencelupkan jarinya ini
(Perawi yang bernama Yahya bin Sa’id mengisyaratkan dengan jari telujuknya)
ke dalam sungai.
Maka lihatlah apa yang bisa dibawa oleh jarinya itu. [8]
Ketiga. Hendaknya ia memahami bahwa zuhud terhadap
dunia tidak akan menghalangi seseorang untuk memperoleh dunia yang telah
ditakdirkan untuknya. Sebaliknya, semangatnya untuk memperoleh dunia tidak akan
menyebabkan ia dapat memperolehnya jika ia tidak ditakdirkan memperolehnya. Hal
ini akan memudahkan dirinya untuk zuhud terhadap dunia.
PERKATAAN
SEBAGIAN SAHABAT NABI TENTANG ZUHUD
Umar bin Khaththab radhiyallâhu'anhu
pernah menulis kepada Abu Musa Al Asy’ari: “Sesungguhnya engkau tidak akan
memperoleh amal akhirat yang lebih baik daripada zuhud terhadap dunia.
Hati-hatilah engkau dari akhlak buruk dan rendah”.[9]
Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu'anhu
berkata: “Dunia pasti akan pergi membelakangi, dan akhirat pasti akan datang
menjelang. Masing-masing dari dunia maupun akhirat memiliki anak-anak generasi.
Maka jadilah engkau anak generasi akhirat, dan jangan menjadi anak generasi
dunia. Hari ini adalah hari beramal, tidak ada hisab (penghitungan amal).
Sedangkan esok adalah hari hisab, tidak ada amal.[10]
ZUHUD YANG
BENAR
Zuhud yang paling utama adalah zuhud yang
sesuai dengan petunjuk Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam.
Sedangkan zuhud yang paling buruk adalah zuhud yang tidak sesuai dengan
petunjuk Beliau. Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam bersabda:
Amma ba’du: Sesungguhnya sebaik-baik perkataan
adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan
adalah bimbingan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
sedangkan seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama (bid'ah),
dan setiap bid’ah adalah sesat.[11]
adalah Kitabullah dan sebaik-baik bimbingan
adalah bimbingan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam,
sedangkan seburuk-buruk perkara
adalah perkara yang diada-adakan secara baru dalam agama (bid'ah),
dan setiap bid’ah adalah sesat.[11]
Bahkan Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi
Wasallam pernah mengingkari keinginan zuhud para sahabat yang menyimpang.
Yaitu ketika ada orang yang tak hendak menikah, sementara yang lain tak hendak
tidur dan yang lain lagi tak hendak makan daging. Sebagaimana dalam hadits :
Dari Anas bin Malik radhiyallâhu'anhu, dia
mengatakan:
ada tiga orang sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
datang ke rumah isteri-isteri Nabi seraya bertanya tentang amal ibadah Beliau.
Ketika mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap ibadah Nabiitu sedikit.
Lalu mereka mengatakan, Siapakah kita dibandingkan Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam!
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wassalam sudah diampuni segala dosanya,
baik sudah lewat maupun dosa yang akan datang.
Maka salah seorang dari sahabat tersebut berkata,
"Saya akan melaksanakan shalat sepanjang malam".
Yang lain mengatakan, "Saya akan berpuasa seumur hidup dan tidak berbuka".
Yang lain berkata, "Saya akan menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah".
Maka (ketika) Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendatangi mereka,
(Beliau) bersabda, "Kaliankah yang mengatakan ini dan itu ?
Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah,
akan tetapi aku (kadang) berpuasa dan berbuka,
saya juga shalat dan saya juga menikah dengan wanita.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku,
berarti ia bukan termasuk golonganku." [12]
ada tiga orang sahabat Nabi Shallallâhu 'Alaihi Wasallam
datang ke rumah isteri-isteri Nabi seraya bertanya tentang amal ibadah Beliau.
Ketika mereka telah diberitahu, seakan-akan mereka menganggap ibadah Nabiitu sedikit.
Lalu mereka mengatakan, Siapakah kita dibandingkan Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam!
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wassalam sudah diampuni segala dosanya,
baik sudah lewat maupun dosa yang akan datang.
Maka salah seorang dari sahabat tersebut berkata,
"Saya akan melaksanakan shalat sepanjang malam".
Yang lain mengatakan, "Saya akan berpuasa seumur hidup dan tidak berbuka".
Yang lain berkata, "Saya akan menjauhkan diri dari wanita dan tidak akan menikah".
Maka (ketika) Rasulullah Shallallâhu 'Alaihi Wasallam mendatangi mereka,
(Beliau) bersabda, "Kaliankah yang mengatakan ini dan itu ?
Demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan bertaqwa kepada Allah,
akan tetapi aku (kadang) berpuasa dan berbuka,
saya juga shalat dan saya juga menikah dengan wanita.
Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku,
berarti ia bukan termasuk golonganku." [12]
Begitu pula, tidak termasuk zuhud yang
dibenarkan dalam syari’at, apabila seseorang ingin hidup memutuskan diri sama
sekali dari kesenangan dunia dan memisahkan diri dari keramaian untuk beribadah
sepenuhnya kepada Allâh Ta'ala (tabattul). Sebagaimana dalam shahih
Muslim:
Dari Sa’id bin Al Musayyib, sesungguhnya ia
mendengar Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallâhu'anhu berkata:
“Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul,
namun Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarangnya.
Kalaulah Beliau membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]
mendengar Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallâhu'anhu berkata:
“Utsman bin Mazh’un ingin hidup bertabattul,
namun Rasûlullâh Shallallâhu 'Alaihi Wasallam melarangnya.
Kalaulah Beliau membolehkannya, tentu kami sudah melakukan kebiri.[13]
Jadi zuhud yang dibenarkan dalam syari’at, ialah
meninggalkan perkara mubah yang berlebihan, yang tidak dapat membantu ketaatan
kepada Allâh Ta'ala, baik berupa makan, minum, pakaian, harta dan lain
sebagainya. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad “Zuhud ialah makan tetapi di bawah
ukuran makan seperti umumnya, berpakaian, tetapi lebih sederhana dari umumnya,
dan bahwa dunia hanyalah hari-hari yang hanya sebentar.[14]
KESIMPULAN
Sebagai kata penutup, sesungguhnya hakikat
zuhud tidaklah sama dengan tasawuf. Dan tasawuf bukan zuhud. Sebab tasawuf
telah terasuki keyakinan, pemikiran, filsafat dan perkara-perkara bid’ah. Zuhud
tidak dicela oleh siapapun, sedangkan tasawuf dicela oleh para ulama Sunnah.[15]
Karena itu, marilah belajar untuk zuhud secara
benar dan sungguh-sungguh. Wallâhu Waliyyu at Taufiq.
Maraji’:
1.
At Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qalbiyah-
Tahqiq wa Dirasah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Tahqiq, Ta’liq dan
Takhrij Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah al Hunaidi, Maktabah ar Rusyd,
Riyadh, Cet. I-1421H/2000 M.
2.
Al Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari
karya Imam Ibnu al Jauzi), karya Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid, Daar
Ibnu al Jauzi, Cet. I – 1410H/ 1990M.
3.
Thariq al Hijratain wa Bab as Sa’adatain, karya
Imam Ibnu al Qoyyim, Dar al Kutub al Ilmiyah, Cet. I - 1402H/1982M.
4.
Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, tarqim
Muhammad Fuad Abdul Baqi, Jami’atul Imam Muhammad bin Su’ud al Islamiyah,
Riyadh.
5.
Shahih Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij
Khalil Ma’mun Syiha, Daar al Ma’rifah, Beirut, Libanon.
|
Lihat Al
Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu Al Jauzi), karya
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab kesembilan, hlm. 191.
|
|
|
Pengertian
ini disadur secara ringkas dari buku at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al
Qolbiyah, Tahqiq wa Dirasah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang
ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah Al Hunaidi,
bagian muqadimah, hlm. 174-184. Ditambah beberapa referensi lain yang akan
diterangkan dalam catatan kaki.
|
|
|
Diringkas
dari Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah, oleh Dr. Yahya Al Hunaidi, hlm. 174.
|
|
|
Lihat
Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin
Abdullah Al Hunaidi. Hlm. 174-175.
|
|
|
Lihat Thariq
al Hijratain wa Bab as Sa’adatain, karya Imam Ibnu Al Qoyyim, Dar al Kutub al
Ilmiyah, Cet. I, 1402 H/1982 M, hlm. 251 dst.
|
|
|
Lihat pula
Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, yang ditahqiq serta dita’liq oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin
Abdullah Al Hunaidi, hlm. 181.
|
|
|
Lihat Thariq
al Hijratain, hlm. 252-253.
|
|
|
Lihat Shahih
Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (XVII/189), no.
7126.
|
|
|
Dinukil dari
Kitab Az Zuhud, karya Imam Ahmad oleh Dr Yahya al Hunaidi dalam Muqadimah at
Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, hlm. 178.
|
|
|
Lihat
Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah, karya Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah, hlm. 178, dan Shahih Bukhari - Fathul Bari (XI/230) secara
mu’allaq dengan shighat jazm.
|
|
|
Lihat Shahih
Muslim Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (VI/392) Kitab
al Jum’ah, Bab Raf’us Shaut fi al Khutbah wa Maa Yaquulu fiha, no. 2002.
|
|
|
HR Bukhari
|
|
|
Shahih Muslim
Syarah Nawawi, tahqiq dan takhrij Khalil Ma’mun Syiha (IX/180), no. 3392.
|
|
|
Dinukil dari
Kitab al Wara’ Imam Ahmad, oleh Dr. Yahya bin Muhammad bin Abdullah al
Hunaidi dalam Muqadimah at Tuhfah al Iraqiyah fi al A’mal al Qolbiyah tahqiq
wa dirasah, hlm. 184.
|
|
|
Lihat Al
Muntaqa an Nafis min Talbis Iblis (dari karya Imam Ibnu al Jauzi), karya
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid. Bab kesepuluh, hal 214 dengan
catatan kakinya.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar